Minggu, 12 April 2009

BUDI DAYA IKAN PATIN SEBAGAI SOLUSI KRISIS GLOBAL

Subang, (PR).- Sektor perikanan khususnya budi daya ikan patin diharapkan menjadi tumpuan pemerintah dan masyarakat dalam menghadapi krisis ekonomi global. Sebab, hingga saat ini hanya ekspor ikan patin yang belum mendapat penolakan dari Amerika serikat maupun negara-negara Uni Eropa.

Artinya peluang untuk ekspor ikan patin ke negara tujuan itu masih sangat terbuka. Apalagi, konsumen di negara tersebut kini lebih menyukai ikan patin daripada udang atau ikan jenis lain, karena harganya lebih murah.

Demikian dikatakan Menteri Kelautan dan Perikanan Freddy Numberi, ketika melakukan panen perdana ikan patin di Loka Riset Pemuliaan dan Teknologi Budi Daya Perikanan Air Tawar (LRPT BPAT) di Desa Sukamandi, Kec. Ciasem, Kab. Subang, Senin (15/12).

Menurut dia, budi daya ikan patin ternyata mampu menjawab tantangan dunia dalam mengadapi krisis ekonomi global. Dalam hal ini petani Indonesia, masih bisa meningkatkan produksi patin untuk diekspor ke Amerika dan Uni Eropa terkait dengan masih terbukanya pangsa pasar ikan patin di negera-negara tersebut.

Menurut Freddy, kelebihan ikan patin adalah harganya yang lebih murah, sehingga diminati oleh konsumen luar negeri sebagai pengganti lobster dan jenis ikan lain yang harganya jauh lebih mahal. Di tengah impitan ekonomi yang mendera negara-negara itu, ikan patin kini malah mulai dilirik oleh mereka. "Hal ini cukup menggembirakan bagi kita," kata Freddy.

Dikatakan juga, Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP), pada tahun ini telah mengeluarkan subsidi bagi subsektor budi daya ikan sebesar Rp 33 miliar. Diharapkan nilai subsidi meningkat menjadi Rp 80 miliar pada tahun 2009 mendatang.

Subsidi pakan

Dalam kesempatan itu, Freddy mengakui jika biaya produksi paling tinggi dalam budi daya ikan adalah untuk penyediaan pakan. Hampir 80% biaya produksi habis hanya untuk membeli pakan ikan.

Oleh karena itu, pihaknya akan mengusulkan kepada Presiden dan Wakil Presiden agar pemerintah memberikan subsidi pakan untuk para petani ikan. Hal itu serupa dengan pemberian subsidi pupuk bagi petani tanaman. "Kami harap, penghapusan subsidi BBM bisa dialihkan untuk subsidi pakan ikan," kata Freddy.

Di tempat yang sama, General Manager (GM) Gabungan Pengusaha Makanan Ternak (GPMT) Divisi Pakan Ikan, Denny D. Idradjaja mengatakan, ekspor patin dari Indonesia sebenarnya tertinggal jauh dari Vietnam. Sebab, Vietnam saat ini mampu mengekspor patin sebanyak 390.000 ton/tahun. Sedangkan Indonesia baru mencapai angka 50.000 ton/tahun.

Di Vietnam, kata Denny, budi daya patin telah digarap secara serius dalam skala besar. Sedangkan di Indonesia, budi daya patin baru dilakukan pada beberapa tempat tertentu saja.

Menurut Denny, pemeliharaan patin, sebenarnya lebih mudah ketimbang ikan jenis lain. Pasalnya, ikan patin bisa memakan apa saja dan tidak terpaku pada satu jenis pakan.

Sementara itu, salah seorang staf LRPT BPAT Sukamandi, La Ode Abdurahman Wahid mengatakan, ikan patin yang dipanen pertama kali bobotnya mencapai 60 ton. Ikan patin tersebut dipelihara selama 10 bulan pada kolam seluas 0,6 hektare.

Pada panen perdana, menurut La Ode, diangkat ikan patin sebanyak 9,5 ton. Selebihnya ikan tersebut akan dipanen secara bertahap hingga beberapa pekan ke depan.

Dikatakan, patin tersebut akan dijual ke Jakarta dan Amerika dalam bentuk daging yang sudah di-bleeding. "Menurut informasi harga patin di pasar Amerika hanya 3,5 dolar AS hingga 4 dolar AS/kg. Sedangkan harga nila mencapai 5 dolar AS/kg," katanya. (A-106)***

Sumber: Harian Pikiran Rakyat, Selasa 16 Desember 2008

RI impor 500.000 ton patin

JAKARTA: Indonesia masih mengimpor ikan patin 500.000 ton per bulan dari Vietnam lantaran produksi di Tanah Air belum mampu memenuhi permintaan pasar di dalam negeri.

"Saat ini, produksi dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan sendiri masih kurang. Indonesia yang memiliki sumber daya cukup besar, terpaksa harus impor dari Vietnam," ujar Dirjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan (P2HP) Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) Martani Huseini di Jakarta, kemarin.

Kondisi itu, katanya, membuat Indonesia belum mampu memenuhi permintaan pasar di luar negeri. Terutama untuk passar AS, Eropa Timur, Timur Tengah, dan Uni Eropa.

Dia mengakui potensi budi daya patin di dalam negeri sangat besar. Kendalanya kekurangan induk, benih, penyediaan pakan, dan kurangnya dukungan perbankan. "Hal ini membuat Indonesia kurang mampu bersaing dengan Vietnam," ujarnya.

Indonesia, menurut dia, masih harus mengimpor pakan ikan dari Cile, harga jual patin belum kompetitif, dan pemerintah daerah yang menaruh perhatian pada budi daya patin masih sedikit. "Ini membuat produksi tersendat," tuturnya.

Harga ikan patin Vietnam, katanya, lebih murah dibandingkan dengan harga patin Indonesia. Harga patin Indonesia Rp17.000, sedangkan harga patin Vietnam hanya Rp9.000 per kilogram.

Menurut dia, tingginya selisih harga ini karena Vietnam memiliki teknologi pembibitan yang lebih unggul dibandingkan dengan Indonesia.

Selain itu, tambahnya, Vietnam juga mengadakan pakan dengan baik. Hal tersebut, membuat ongkos produksi dapat ditekan sehingga harga jual ikan patin Vietnam jauh lebih murah.

Oleh Diena Lestari
Bisnis Indonesia

Ikan Air Tawar, Kebanggaan Tulungagung



Bahkan sejak 1996, pekerjaan pembudidaya ikan sudah tertera dalam Kartu Tanda Penduduk

Kabupaten Tulungagung, sebelum 1987 dikenal sebagai daerah banjir. Akibatnya banyak terbentuk genangan air sebagai tempat hidup ikan air tawar. Dampak positifnya, baik secara langsung atau tidak masyarakat paham dan terbiasa pola tersebut. Ditambah lagi dengan dukungan sumber daya alam sungai Berantas dan irigasi Lodagung yang mengalir dari Lodoyo, Blitar sampai Tulungagung, membuat sumber air melimpah. “Secara umum sumber air di Tulungagung cukup dangkal. Air dengan mudah diperoleh cukup dengan kedalaman 3-6 meter. Kondisi ini sangat mendukung Tulungagung sebagai sentra perikanan air tawar,” ungkap Supartono, Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kabupaten Tulungagung.
Tidak bisa dibantah, perikanan menjadi salah satu sektor unggulan Kabupaten Tulungagung, dengan ikan hias Maskoki sebagai maskot, disusul lele dan gurame. “Dan saat ini kita tengah berupaya mengembangkan budidaya patin (panasius),” jelas Supartono.
“Bahkan, sejak 1996 jenis pekerjaan pembudidaya ikan sudah tertera dalam Kartu Tanda Penduduk (KTP),” ujar Supartono sumringah. Kebanggan ini menandakan usaha ini telah mampu menjadi penyangga hidup pembudidaya ikan sekeluarga.
Tidak heran jika serapan tenaga kerja sektor ini cukup tinggi. Serapan di perairan umum sebesar 5.124 orang dengan rincian sungai menyerap 3.492 orang, rawa 207 orang, waduk 1.149 orang, telaga 276 orang. Pembudidaya ikan hias 3.412 orang dan ikan konsumsi 12.200 orang untuk pembenihan 784 orang. Pendapatan sektor perikanan juga cukup tinggi, pada 2007 pendapatannya sebesar Rp 302,140 miliar. Perikanan budidaya menyumbang porsi terbesar dengan jumlah Rp 256,124 miliar disusul perikanan tangkap laut Rp 39,478 miliar dan perikanan tangkap di perairan umum Rp 6, 536 miliar. Besarnya pendapatan didukung penyebaran budidaya ikan air tawar yang merata di berbagai kecamatan di Tulungagung. Menurut Supiyan, Area Supervisor PT Sanbe Farma, daerah timur yang langsung berbatasan dengan Kabupaten Blitar lebih cocok untuk perikanan karena berupa dataran. Komoditas unggulan ikan hias air tawar khususnya Maskoki tersentra di tiga Kecamatan Sumbergempol, Kedungwaru, Boyolangu dan yang lain tersebar di 12 kecamatan. Ikan konsumsi tersebar di 17 kecamatan dengan sentra Lele di Kecamatan Gondang, Kauman, Pakel, Besuki, Campurdarat, dan Bandung. Untuk sentra Gurami di kecamatan Rejotangan, Ngunut, Kalidawir, Ngantru, Kedungwaru, Boyolangu dan Sumbergempol.
“Dari dana program UKM untuk kabupaten Tulungagung Rp 6 miliar, Rp 3 miliar dialokasikan bagi pembudidaya ikan air tawar dengan bunga pinjaman 6% per tahun. Tidak ada yang nunggak, dan sekarang sudah mulai diarahkan ke bank umum,” Supartono bernada puas.

Hanya Sentra Produksi
Tulungagung sebagai sentra produksi perikanan air tawar juga diakui oleh Denny Setyo Wicaksono, Sales Manager PT Matahari Sakti, produsen pakan ikan. “Tulungagung merupakan barometer perikanan, awalnya tidak hanya pada pembesaran ikan konsumsi saja tetapi sentra benih, khususnya lele,” ujar Denny. Seiring perjalanan waktu pembenihan lele semakin sulit, tingkat keberhasilannya kecil, akibat menurunnya genetik serta iklim yang kurang bersahabat. Sehingga kini pembudidaya mendatangkan benih lele dari Pare, Kediri sedangkan gurame dari Blitar dan Banyumas.
Tiga tahun lalu menurut Denny, daya serap pakan ikan air tawar di Tulungagung mencapai 2500 ton, dengan FCR 1. “Saat itu 70% pembudidaya lele, 30% ikan hias dan gurame. Kenyataannya sekarang kondisi ini berbalik, hampir 60% beralih ke gurame dan 40% budidaya ikan hias, lele dan patin”. Ini juga diakui Supiyan, “Budidaya lele membutuhkan perputaran modal yang besar dan cepat. Berbeda dengan gurame, biaya lebih kecil meskipun waktu yang dibutuhkan lebih lama.”

Patin Pasupati Dari Sukamandi untuk Ekspor



Obsesi DKP untuk mencapai target produksi daging putih pada akhir 2009 sebanyak 200.000 ton tampaknya bukan omong kosong belaka. Dahulu pemenuhan daging putih hanya berasal dari daging Patin jambal, kini dapat dipenuhi juga oleh ‘Patin pasupati’. Nama baru ini merupakan varietas baru hasil persilangan Patin jambal jantan dengan Patin siam betina yang sudah melalui proses perbaikan mutu secara genetik dengan program seleksi (selective breeding) yang dilakukan oleh Loka Riset Pemuliaan dan Teknologi Budidaya Air Tawar (Loriskanwar) Sukamandi.

TROBOS edisi 82 telah menyinggung kekurangan Patin jambal, yaitu sedikitnya produksi jumlah telur, sementara sperma yang dihasilkan sang jantan banyak. Sebaliknya, jenis Patin siam mempunyai keunggulan banyaknya jumlah telur yang dihasilkan, sedangkan jumlah spermanya sedikit. Patin siam tidak dikembangkan karena dagingnya berwarna merah, yang kurang disukai di pasaran internasional.

Tujuan Utama

“Berbekal pengetahuan mengenai keunggulan yang dimiliki oleh masing-masing jenis, kita mencoba menyilangkan antara Patin jambal jantan dengan Patin siam betina. Alhamdulilllah hasilnya patin berdaging putih yang dinamakan ‘Patin pasupati’,” terang Sularto, Ketua Tim Peneliti komoditas patin Loriskanwar Sukamandi. Pasupati, akronim dari Patin Super Harapan Pertiwi, telah dirilis Menteri Kelautan dan Perikanan Freddy Numbery pada 7 Agustus 2006 lalu.

Tujuan utama persilangan tersebut menurut Sularto, untuk memenuhi kebutuhan benih daging putih. “Karena berharap pada jambal saja, akan sulit menembus target tahun 2009,” ujar Sularto berargumen. Sebagai perbandingan, tambah Sularto, Patin siam mampu menghasilkan telur 300-500 ribu setiap kali bertelur, sementara Patin jambal hanya 50 ribuan. “Dari jumlah itu kita bisa melihat persilangan ini tentu akan lebih memungkinkan pemenuhan kebutuhan benih daging putih,” tandas Sularto.Tetapi, jelas Sularto, Pasupati ini merupakan produk akhir untuk konsumsi. “Jadi tidak ada keturunan dari Patin pasupati,” tuturnya.

Dan guna mencapai ambisi target, Loriskanwar terus melakukan program seleksi Patin jambal sebagai calon induk pejantan untuk produksi benih Patin pasupati. Sementara untuk induk betina Patin siam sudah banyak di masyarakat. Loriskanwar juga masih terus melakukan persilangan untuk mendapatkan hasil varietas patin yang lebih unggul dari Patin pasupati yang ada.

Keunggulan Pasupati

Keunggulan utama Patin pasupati adalah warna dagingnya yang putih. Evi Tahapari, anggota tim peneliti memberi penjelasan terkait kualitas daging, “Kita sudah melakukan uji organoleptik di Jakarta. Hasilnya, antara daging Patin jambal dengan daging Patin pasupati tidak dapat dibedakan. Warna dan teksturnya mirip”. Importir sudah setuju dengan kualitas daging Patin pasupati. “Importir merupakan aspek penting. Jika mereka sudah setuju berarti pasar tak masalah,” kata Evi menambahkan.

Keunggulan lain dari Patin pasupati adalah mempunyai kadar lemak yang rendah. Menurut Sularto, kadar lemak Patin pasupati hanya 14,93%, sementara Patin siam dan jambal masing-masing adalah 18,41% dan 16,86%. “Rendahnya kadar lemak ini cocok dengan keinginan pasar internasional yang biasanya lebih memilih panganan berkadar lemak rendah,” papar Sularto.

Masih menurut Sularto, kelebihan Patin pasupati berikutnya adalah pertumbuhan yang relatif lebih cepat apabila dibandingkan jenis Patin siam dan jambal. Berdasarkan hasil penelitian, laju pertumbuhan relatif Patin pasupati pada saat pembesaran di kolam selama 60 hari sebesar 3,05 sedangkan untuk jenis patin siam dan jambal masing-masing sebesar 2,82 dan 2,87. “Waktu yang diperlukan Patin pasupati untuk mencapai ukuran panen (1 kg) dari benih ukuran 2,5 inci adalah 7 bulan dengan nilai FCR sebesar 1,5,” terang Sularto detail. Ia menambahkan harga ikan patin daging putih saat ini cukup bagus, Rp 8.000-Rp 9.000 per-kg.

Karakteristik Lingkungan

Keberhasilan budidaya Patin pasupati tak lepas dari kondisi lingkungan yang mendukung. Patin pasupati sangat cocok pada kondisi lingkungan yang mempunyai suhu cukup hangat yaitu antara 280-300 C. Bila kurang dari itu biasanya ikan ini mudah terserang penyakit.

Selain itu Patin pasupati juga membutuhkan tingkat kelarutan oksigen yang cukup tinggi. “Untuk budidaya, kadar oksigen terlarut yang diperlukan adalah 3 ppm,” kata Sularto. Karena itu Patin pasupati tidak dianjurkan dibudidayakan di waduk yang padat KJA, karena tidak dapat tumbuh dengan baik akibat kekurangan oksigen.

Sehingga jenis ini sangat cocok dibudidayakan pada kolam yang besar dengan permukaan air yang berombak agar mendapat cukup oksigen. Selain itu, Patin pasupati juga baik dibudidayakan di sungai yang tidak terlalu deras. “Di sungai tidak perlu khawatir dengan kelimpahan oksigen. Tetapi yang perlu diperhatikan, harus berhati-hati saat pertama kali melepas benih ke sungai, agar benih tidak kaget karena adanya perbedaan kondisi air antara tenang dan mengalir,” demikian Evi menjelaskan. Patin pasupati juga dapat dibudidayakan di tambak yang mendapat pasokan air tawar cukup banyak. Menurut Sularto, padat tebar Patin pasupati di keramba 50-75 ekor/m3, sedangkan untuk kolam tanah hanya dianjurkan 10 ekor/m3.


BRKP akan Kembangkan UKM Pengolah Patin di Pekalongan

Badan Riset Kelautan dan Perikanan (BRKP) berencana mengembangkan UKM pengolahan produk perikanan di Pekalongan, Jawa Tengah. Menurut Agus Heri Purnomo, Kepala Balai Besar Riset Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan-BRKP, pengembangan UKM pengolahan produk perikanan di Pekalongan dimaksudkan untuk menyerap komoditas ikan patin yang mulai banyak dihasilkan oleh para pembudidaya di wilayah tersebut.
“Awalnya BRKP hanya mengembangkan budidaya ikan patin. Tetapi kita juga harus berpikir untuk menciptakan pasar. Salahsatunya melalui pengembangan UKM pengolahan ikan patin,” papar Agus ketika dihubungi (8/5). Pengembangan UKM ini juga bertujuan untuk meningkatkan nilai tambah ikan patin. Sebab harga ikan patin segar pada akhir-akhir ini selalu berada di bawah biaya produksi. Padahal biaya produksi terus meningkat sebagai konsekuaensi dari kenaikan harga pakan.
“Jika UKM olahan patin berkembang, maka harga patin juga akan ikut terdongkrak,” katanya. Selain itu, pembudidaya juga bisa langsung mengolah dan menjualnya dalam bentuk produk olahan yang jauh lebih menguntungkan.
Dalam hal ini BRKP bersama Pemda Pekalongan akan menggandeng Yudhi Winarsono Basuki, salahseorang pendiri UKM pengolahan produk perikanan di wilayah Citayam-Bogor. “Rencananya pelatihan tersebut akan mulai dilaksanakan pada Juli tahun ini,” ujar Agus.

Pasar Patin Menganga, Indonesia Ternganga


Meski kaya sungai besar, Indonesia belum mampu memanfaatkannya untuk produksi patin secara besar-besaran sebagaimana Vietnam

Ini peluang besar. Seperempat penduduk Amerika Serikat dan Eropa membutuhkan pasokan ikan murah. Dan kandidat utama untuk mengisi pasar tersebut tak lain adalah ikan patin, salahsatu jenis ikan berkumis selain lele yang banyak dijumpai di sungai-sungai besar di tanah air.
Sayang, lagi-lagi peluang besar tersebut sudah disabet duluan oleh Vietnam. Negeri Paman Ho itu menjadi pemasok patin terbesar dunia dengan volume ekspor mencapai satu juta ton pada 2007. Padahal, budidaya patin di sana hanya dilakukan di sepanjang Sungai Mekong yang hanya beberapa kilometer saja panjangnya. Sementara Indonesia yang nyata-nyata kaya akan sungai besar malah gigit jari. Data dari Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) menyebutkan, produksi budidaya patin di Indonesia pada tahun yang sama baru mencapai sekitar 36 ribu ton lebih.
Walau demikian, peluang pasar tetap terbuka lebar. Direktur Jenderal Perikanan Budidaya, DKP, Made L Nurdjana pada seminar antisipasi kemungkinan pengenaan UU antidumping produk perikanan nasional di pasar AS medio Juni lalu di Jakarta menyebutkan, Eropa dan Amerika khawatir jika kebutuhan mereka akan patin tak bisa terpenuhi jika hanya mengandalkan Vietnam. Karena itulah mereka meminta Indonesia agar ikut mengisi pasar patin di sana.
Tentu saja, peluang itu tak akan dibuang percuma. Nurdjana sangat optimis Indonesia bisa menyamai produksi patin Vietnam. “Jika Vietnam saja mampu, mengapa Indonesia tidak bisa?” ucapnya.
Indonesia, kata Nurdjana, jauh lebih hebat dibandingkan Vietnam. Alasannya, Sungai Mekong yang mengalir di Vietnam sebelumnya telah melewati China, Thailand, Laos dan Myanmar. Aliran sungai tersebut dipastikan juga membawa bahan-bahan cemaran dari wilayah-wilayah yang telah dilewatinya sehingga kualitas airnya menurun. Dengan kata lain, kualitas patin yang dihasilkan dari sungai tersebut tidak terlalu bagus. Nurdjana yakin kualitas ikan patin Indonesia lebih unggul karena sungai-sungainya lebih bersih.
Sebagai langkah awal yang diambil pemerintah untuk menggenjot produksi patin adalah promosi patin. Strateginya dengan mengadakan acara bakar ikan patin massal di Jambi (7/6), salahsatu daerah yang menjadi sentra patin nasional. Ketika itu dilakukan pula pencanangan kampanye gemar makan ikan (gemarikan) dengan tema “Patin Jambi untuk Nusantara”.
Setidaknya acara tersebut berhasil membuat nama patin tercatat dalam Museum Rekor Indonesia (MURI). Ikan patin yang dibakar mencapai panjang 4.657 meter dan memecahkan rekor panjang ikan pada acara serupa sebelumnya. Gubernur Jambi Zulkifli Nurdin mengatakan, acara ini diharapkan menjadi momentum bagi peningkatan produksi ikan patin di Jambi.
Dan sehari sebelumnya di tempat yang sama telah ada nota kersepahaman (MOU) antara pihak swasta dan petani patin untuk saling bekerjasama dalam mengembangkan patin nasional. Sadullah Muhdi, Direktur Pemasaran Dalam Negeri, DKP menyebutkan, MOU tersebut melibatkan tiga pilar usaha patin yakni petani patin, perusahaan pengolahan fillet yakni PT Sumber Laut Utama dan perusahaan pemasar fillet di dalam dan di luar negeri yaitu PT Karya Jaya Prima Utama.
Tak cuma itu, demi mengejar ketinggalan dari Vietnam, DKP mentargetkan terjadi peningkatan produksi patin sekitar 60% per tahun. Angka tersebut menurut Nurdjana berdasarkan pada angka kenaikan produksi patin di Jawa Barat yang mencapai 36% pada 2007. “Jawa Barat saja yang hanya budidaya patin di kolam bisa menaikkan produksi patin sampai sebesar itu, apalagi di wilayah lain yang banyak terdapat sungai besar,” kata Nurdjana beralasan. Berdasarkan target peningkatan tersebut, Indonesia hanya akan butuh waktu sekitar enam tahun untuk bisa menyamai produksi patin Vietnam saat ini. Masalahnya, apakah bisa menjamin produksi patin Vietnam akan stagnan pada angka satu juta ton pada 2014 nanti?

Kalah Kualitas
Sebenarnya sah saja jika pemerintah berobsesi untuk mengalahkan Vietnam dalam hal produksi patin. Tetapi ini bukan perkara enteng karena batu sandungannya juga banyak. Satu yang paling besar adalah daya saing. Tak usah jauh-jauh bicara pasar dunia, di pasar dalam negeri pun, patin lokal kalah bersaing dengan patin Vietnam.
Tengok saja beberapa supermarket dan swalayan di beberapa kota besar di tanah air. Tak akan sulit untuk menemukan dori steak, produk patin olahan dari Vietnam. Dan bisa diduga, dengan karakter kebanyakan orang Indonesia yang lebih menyukai barang impor, maka si dori pun konon laku keras.
Setali tiga uang, pelaku usaha pengolahan dan pemasar patin nasional pun cenderung memilih bahan baku patin dari Vietnam dibandingkan patin lokal. Alasannya klasik, produksi dalam negeri sangat sedikit, kualitasnya buruk dan harganya mahal. Demi mempertahankan perputaran roda perusahaan, tak ada jalan lain kecuali impor bahan baku.
Disebut-sebut, volume impor pada 2007 mencapai 1000 ton. Muchlison Zaini, Wakil Ketua Gappindo (Gabungan Pengusaha Perikanan Indonesia) menghitung, jika rendemen (daging yang dihasilkan dari seekor ikan) patin sekitar 40 sampai 45%, bahan baku ikan ynag dari impor tersebut bisa mencapai 2500 ton.
Lelaki yang akrab disapa Soni ini kemudian menyebutkan pertimbangan utama pengusaha mengimpor bahan baku adalah kualitas. “Mereka itu kan punya pabrik pengolahan dengan standar sanitasi dan higienitas yang tinggi, maka kualitas barang yang masuk juga harus bagus,” ujar Soni mengemukakan alasan.
Dia menambahkan, dari jenis ikannya, patin Indonesia dan patin Vietnam sebenarnya mempunyai kualitas sama. Hanya, di tingkat pengolahan, kualitas patin lokal harus ada pembenahan. Paling tidak, untuk menghasilkan daging patin (fillet) harus menerapkan standar pengolahan yang benar sesuai standar HACCP (standar pedoman pengawasan mutu).
Masalahnya, pabrik pengolahan patin menjadi fillet masih sangat sedikit di Indonesia. “Jumlahnya paling banter tidak sampai 5,” kata Soni. Pembuatan fillet patin ini lebih banyak dilakukan secara tradisional. “Karena itu kalau mau go international, ini harus ditingkatkan,” ujar Soni tegas.

sumber: TROBOS 2008

Gurame Sehat, Untung Hebat

Kuncinya, gurame harus sehat agar tumbuh cepat dan kerugian akibat kematian dapat ditekan.

Matahari belum bangun dari peraduannya, ketika serombongan orang menyusuri pematang di hamparan kolam gurami milik HR Soerjadi di desa Pabuaran, Kemang Bogor. Hari itu, Soerjadi menerima kunjungan studi banding anggota kelompok pembudidaya gurame Mina Raharja yang disponsori LSM Lembaga Pengkajian Agribisnis Strategis (LPAS). Jauh-jauh dari Jogjakarta, mereka ingin membangun kembali semangatnya setelah usahanya hancur terkena gempa dahsyat tahun lalu.
Pada kesempatan itu Soerjadi mengingatkan bahwa ikan gurame, kini telah menjadi komoditas yang bernilai ekonomi tinggi. Memang, dengan hitungan sederhana, dan harga gurame di kolam (Bogor) Rp 18.000,- maka didapat hasil penjualan kotor sebanyak Rp 36 juta, cukup untuk bayar biaya haji.
Jika dihitung dengan analisa sederhana, keuntungannya mencapai 20% ! Ikan sebanyak itu pun hanya membutuhkan kolam tak lebih dari 10 x 10 m2. Semakin kecil ukuran benih yang di tebar untung semakin besar meski berisiko semakin lama masa pemeliharaannya. Dari benih size 5 (5 ek/kg), dalam 4 – 5 bulan bisa dipanen 1 kg/ekor.
Kuncinya, gurame harus sehat agar tumbuh cepat dan kerugian akibat kematian dapat ditekan. Tindakan pencegahan dimulai dari penggunaan air yang tepat, pemilihan bibit yang bebas penyakit dan jelas asal-usulnya.

Mulai dari Air
Kunci utama kehidupan ikan adalah kuantitas dan kualitas air yang mampu menopang kehidupan ikan dan tidak mengandung zat ataupun organisme yang membahayakan ikan. Air yang digunakan bisa berasal dari sungai, genangan air, maupun mata air/air sumur. Menurut Ir Hardaningsih, dosen Jurusan Perikanan UGM yang juga mendampingi studi banding ini, sebelum ditebari ikan, air harus diendapkan terlebih dahulu selama beberapa hari. Sebab, pada kondisi tanah tertentu, air mata air / air sumur banyak mengandung Fe ataupun S yang berbahaya bagi ikan. Jika kadar Fe dan S terlalu tinggi, sebelum masuk kolam pengendapan air disaring dengan menggunakan arang dan kapur.
Pengendapan lebih bagus dilakukan di kolam khusus yang ditumbuhi eceng gondok. “Eceng gondok menjadi filter biologis. Ia juga bersifat menyerap logam berat dari air,” terang pria yang akrab dipanggil Gandung ini. Jika kolam pengendapannya luas, maka eceng gondok bisa dibiarkan tumbuh hingga ¾ dari luas kolam.
Menurut pengalaman Soerjadi, air yang akan digunakan harus diendapkan, baik yang berasal dari mata air, genangan (rembesan tanah / embung ataupun air hujan), apalagi air sungai. “Kalau air sungai, meski diendapkan pakai eceng gondok tetap ada yang mati setelah ditebari. Memang yang paling bagus adalah air dari mata air,”papar pembudidaya gurame sejak 30 tahun lalu ini.
Air kolam yang baik mengandung banyak oksigen dan sedikit amonia. Di daerah tertentu, ada yang airnya memiliki kandungan oksigen yang rendah, terutama di daerah hilir. “Seperti di Cilacap, aerator harus dinyalakan waktu malam hari,” tutur Soerjadi. Hanya saja, ketika ia mencoba menerapkannya, justru ikan-ikannya mabok karena lumpur kolam seperti diaduk-aduk. Setelah itu ia menyimpulkan bahwa aerasi hanya dapat dilakukan di kolam yang karakteristik tanahnya cenderung berpasir atau tanah yang tidak berlumpur. Untuk mengatasi amonia, Gandung menyarankan agar menggunakan probiotik yang mengandung bakteri pengurai nitrogen. “Sebab ada produsen probiotik yang ngawur katanya produknya bisa untuk A sampai Z tapi tidak diketahui apa mikroorganisme aktifnya,”pesannya.

Sumber : TROBOS

Membidik Cilacap sebagai Kampung Gurame

Dari 66 hektar yang diproyeksikan, Cilacap kebagian lahan pengembangan 30 hektar, 45%

Meski bukan produsen utama perikanan budidaya gurame di Jawa Tengah (Jateng), Cilacap merupakan salah satu daerah sasaran pengembangan kawasan kampung gurame (gurame center) di Jawa Tengah (Jateng). Dari 66 hektar yang diproyeksikan, Cilacap kebagian lahan pengembangan sebanyak 30 hektar (45%), dengan harapan mampu memproduksi 20 ton/ha/tahun (sekali panen). Selain Cilacap, beberapa daerah pengembangan kawasan lainya adalah Banjarnegara (15 ha), Banyumas (13 ha) dan Purbalingga (8 ha).
Dipilihnya Cilacap sebagai basis terluas untuk pengembangan kawasan gurame di Jateng karena daerah ini memiliki luas lahan ‘tidur’ yang belum terjamah. Selain itu, juga didukung letaknya yang strategis karena berada di perbatasan Jateng dan Jawa Barat (Jabar) yang relatif dekat Ibukota Jakarta. Sehingga pangsa pasar lebih cepat dan dekat dijangkau. “Cilacap bukan hanya potensi budidaya, tapi juga pasar yang mudah terjangkau,” terang Galih Rasiono, Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (Dinlutkan) Jateng.

Mulai Berkembang
Adalah Kecamatan Maos, salah satu wilayah potensi yang mampu membuktikan kehandalan pasokan rutinitasnya mencapai 6 kuintal saban minggunya, dari lahan yang dimanfaatkan 27,16 ha. Pasar utamanya Jakarta dan Bandung..
Sejauh ini, untuk pengembangan perikanan budidaya secara umum Cilacap baru memanfaatkan lahan sebanyak 17% (433.32 ha), dari luas lahan 2.535 ha yang dimiliki. Maka menjadi sebuah keniscayaan, melalui pengoptimalan lahan sisa tersebut di kemudian hari Cilacap merupakan pusat budidaya perikanan. Perkembangan budidaya perikanan gurame Cilacap juga dilaporkan oleh Sri Sunarti, penyuluh lapang Dinas Pertanian Cilacap. Ia mengatakan, beberapa tahun belakangan terjadi penambahan/perluasan lahan. Diindikasikan dengan bertambahnya “jam kunjungan” kerjanya ke lapangan. Termasuk ia seringkali dimintai bantuan mencarikan benih, sarana-prasana sampai akses pasar. Bahkan ia membantu menyusun proposal pengajuan permohonan penambahan modal ke Bank.
Kegigihan petugas penyuluh lapang Sri Sunarti ini dirasakan langsung oleh H Purwoko, pembudidaya gurame Maos-Cilacap. Peran Sri dalam transfer informasi dengan pendekatan persaudaran diakui Purwoko mengantarkan kesuksesannya sebagai pembudidaya gurame ternama di daerah itu. “Bukan saja sebagai petugas penyuluh, tapi mitra kerja,” kata pemilik 23 kolam di atas lahan 1,6 hektar ini.

Pengemangan minapolitan di Jateng


“Kampung lele” di Boyolali mampu hasilkan 10 ton ikan lele per hari, sedangkan kabupaten Banyumas hasilkan 857,11 ton ikan gurame per tahun

Program minapolitan yang tengah digarap oleh Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) beserta Departemen Pekerjaan Umum (DPU) disambut baik oleh kalangan Pemerintah Daerah (Pemda), termasuk Pemda provinsi Jawa Tengan (Jateng). “Kami sangat mendukung pengembangan kawasan minapolitan ini jika komoditas yang akan dikembangkan digemari oleh masyarakat,” ujar Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan provinsi Jateng, Galih Rasiono saat dihubungi TROBOS. Menurut dia, program pengembangan kawasan minapolitan di Jateng akan dilakukan di tiga kabupaten yaitu Boyolali, Banyumas dan Klaten.

Demi pengembangan kawasan minapolitan di wilayah Jateng, Galih menyebutkan, pihaknya akan menyiapkan dana khusus dari APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah). “Meskipun jumlahnya tidak terlalu banyak. Tetapi saya pikir ini bisa dimanfaatkan untuk pengembangan minapolitan,” ujar Galih tanpa menyebut angka. Gawe besar ini akan melibatkan beberapa instansi seperti DKP dan DPU. “Untuk pembangunan infrastrukturnya kita akan serahkan ke DPU.”

Sedangkan untuk mengantisipasi timbulnya konflik penggunaan tata ruang, Galih mengatakan jika pihaknya telah mengantisipasi dengan melakukan kordinasi dengan semua dinas terkait. “Ini kita lakukan untuk memperkecil kemungkinan adanya penyalahgunaan tata ruang. Karena kalau itu sampai terjadi dikemudian hari akan sangat merugikan semua pihak,” tegasnya.

“Kampung Lele” Boyolali

Salah satu kawasan minapolitan yang akan dikembangkan di Jateng adalah “kampung lele” yang terletak di Desa Tegalrejo, Kecamatan Sawit, Boyolali. Menurut Galih, wilayah tersebut memang memiliki potensi yang besar untuk pengembangan usaha ikan lele, mulai dari budidaya hingga pengolahannya. “Kita akan kembangkan mulai dari hulu sampai hilir,” tandasnya. Rencananya, kawasan itu akan dijadikan kota perikanan yang mampu tumbuh dan berkembang sejalan dengan komoditas unggulan dan usaha agribisnis yang dikembangkan.

Gayung bersambut, pengembangan kawasan minapolitan di Boyolali ini mendapat respon posistif dari Bupati Boyolali, Sri Mulyanto. Dikutip media, Mulyanto menyatakan komitmen kesiapan Pemkab Boyolali dalam mendukung program minapolitan. Sebab hal ini merupakan peluang bagi pengembangan perekonomian rakyat Boyolali.

Mulyanto yakin, hal tersebut sangat mungkin dilakukan. Sebab potensi sumberdaya ikan dan juga sumberdaya manusia yang dimiliki sudah cukup memadai. Struktur pengembangan kawasan minapolitan di Boyolali meliputi pengembangan kota tani (desa dengan fasilitas kota) sebagai pusat kegiatan, pusat pelayanan agribisnis, serta kawasan desa pemasok bahan baku.

Dia menambahkan, pengembangan kawasan minapolitan di Boyolali juga akan ditunjang dengan pendanaan dari APBN sebesar Rp 700 juta. Dana tersebut rencananya akan digunakan untuk pembangunan sentra pengolahan dan pembangunan kolam khusus untuk pengasapan ikan lele. Rencananya, selain dijadikan sebagai ikon perikanan nasional, kawasan “kampung lele” Boyolali juga akan diangkat sebagai salah satu kawasan perikanan yang ternama di dunia internasional.

Selengkapnya baca Majalah TROBOS edisi Januari 2009

Bisnis Gurame: Jakarta Masih Kekurangan Pasokan

Tingginya permintaan Jakarta tidak terpengaruh kenaikan harga BBM, kalau pun suplai menjadi dua kali lipat dipastikan masih terserap

Luar biasa! Jakarta memang masih menjadi pasar utama bagi semua komoditas perikanan. Tak terkecuali untuk ikan gurame. Saban hari, sedikitnya ada 30 truk ikan gurame hidup masuk ke wilayah Jakarta, dengan kapasitas masing-masing truk berisi tak kurang dari 7,5 kuintal ikan gurame. “Artinya, dalam sehari sedikitnya ada 22,5 ton ikan gurame hidup yang menyerbu masuk pasar Jakarta,” ujar Budi Setiadi, salah seorang pengepul ikan gurame di wilayah Jakarta.
Jumlah tersebut belum termasuk ikan gurame yang sudah dalam keadaan mati, yang biasanya masuk ke Jakarta melalui pasar ikan muara angke. Menurut pria yang telah lebih dari 10 tahun terjun dalam bisnis gurame ini, setiap hari sekurangnya ada 5 truk yang mengangkut ikan gurame mati dengan tujuan pasar muara angke. Masing-masing dari truk tersebut biasanya mampu mengangkut 3 ton ikan gurame. “Muatannya bisa lebih banyak, karena ikan gurame yang mati tidak diangkut dengan menggunakan air.”
Meski demikian, Budi menggarisbawahi jika jumlah tersebut masih jauh dari cukup, karena permintaan masyarakat Jakarta terhadap jenis ikan yang banyak dikonsumsi oleh kalangan masyarakat kelas mengengah-atas ini masih jauh lebih besar dari pasokan yang mampu disediakan oleh para pembudidaya. “Dari dulu sampai sekarang suplai ikan gurame masih kurang terus. Pembudidaya masih belum mampu memenuhi permintaan. Terutama untuk memenuhi permintaan pasar Jakarta dan sekitarnya,” ungkap Budi.
Permintaan masyarakat terhadap ikan gurame inipun akan semakin besar pada saat lebaran dan tahun baru tiba. Satu hal yang membuat bisnis gurame ini kian menarik adalah, tingginya permintaan masyarakat Jakarta terhadap ikan gurame ternyata tidak terpengaruh dengan adanya kenaikan harga BBM. “Pasca kenaikan harga BBM permintaan justru semakin meningkat,” imbuh Budi meyakinkan. Menurutnya, hal tersebut tak lepas dari segmen pasar ikan gurame yang membidik kalangan ekonomi mengengah-atas, sehingga para konsumennya pun tak pernah terpengaruh dengan adanya kenaikan harga BBM.
Karena itu, Budi pun berujar dengan nada optimis, “Kalau saja suplainya ditambah menjadi dua kali lipat dari saat ini, saya yakin pasti masih akan terserap.” Kenyataanya, suplai gurame dari para pembudidaya masih belum mampu memenuhi kuota tersebut dan ini menjadi peluang besar bagi para kaum pemodal yang ingin terjun dalam bisnis budidaya ikan gurame.

Diserap Restoran dan Swalayan
Menurut Budi, tingginya permintaan gurame di Jakarta dan sekitarnya ini tak lepas dari semakin menjamurnya restoran-restoran seafood yang tak pernah absen menyediakan menu berbahan ikan gurame. Selain itu, besarnya pemintaan ikan gurame juga datang dari pasar-pasar swalayan, yang pada akhir-akhir ini selalu menyediakan gerai khusus untuk ikan gurame. “Biasanya restoran-restoran besar dan pasar swalayan minta gurame hidup. Sedangkan gurame yang mati masuk ke pasar tradisional dan restoran-restoran kecil,” terang Budi yang biasa mensuplai gurame ke restoran, Hero dan Giant.
Tingginya serapan pasar ikan gurame di wilayah Jakarta dan sekitarnya juga diakui oleh Galih Adi Nugroho, Pemilik depot pakan ikan dan kemitraan budidaya gurame Putra Mangestoni di Bantul-Yogyakarta, “Wilayah Jakarta dan sekitarnya memang merupakan pasar terbesar untuk ikan gurame.” Alasan tersebutlah yang menyebabkan Galih dan para mitranya menjadikan Jakarta sebagai tujuan utama untuk memasarkan gurame yang dihasilkannya. “Setiap minggu saya bisa kirim gurame 3 – 5 kali ke Jakarta dan Puncak-Bogor, antara 1,5 – 3 ton,” sambung Galih yang juga putra dari ‘bos’ gurame kondang di eks Karasidenan Banyumas. Hampir semua dari ikan gurame yang dikirim Galih juga bermuara di restoran-restoran besar.
Semakin besarnya serapan pasar swalayan terhadap ikan gurame juga pernah dirasakan Galih. Bersama dengan ayahnya dia pun sempat mencoba untuk memasok gurame ke Carraefour. Meskipun pada akhirnya mereka merasa kewalahan, karena permintaan salahsatu pasar swalayan terbesar tersebut terus meningkat dari waktu ke waktu. “Mulanya mereka hanya minta 5 kuintal/hari. Lama-lama 2 ton/hari dengan kualitas yang harus sama persis. Akhirnya kami mundur, karena masih pingin bisa tidur dengan nyenyak,” kisahnya sambil terkekeh.

suber: Majalah TROBOS