Minggu, 12 April 2009

Bisnis Gurame: Jakarta Masih Kekurangan Pasokan

Tingginya permintaan Jakarta tidak terpengaruh kenaikan harga BBM, kalau pun suplai menjadi dua kali lipat dipastikan masih terserap

Luar biasa! Jakarta memang masih menjadi pasar utama bagi semua komoditas perikanan. Tak terkecuali untuk ikan gurame. Saban hari, sedikitnya ada 30 truk ikan gurame hidup masuk ke wilayah Jakarta, dengan kapasitas masing-masing truk berisi tak kurang dari 7,5 kuintal ikan gurame. “Artinya, dalam sehari sedikitnya ada 22,5 ton ikan gurame hidup yang menyerbu masuk pasar Jakarta,” ujar Budi Setiadi, salah seorang pengepul ikan gurame di wilayah Jakarta.
Jumlah tersebut belum termasuk ikan gurame yang sudah dalam keadaan mati, yang biasanya masuk ke Jakarta melalui pasar ikan muara angke. Menurut pria yang telah lebih dari 10 tahun terjun dalam bisnis gurame ini, setiap hari sekurangnya ada 5 truk yang mengangkut ikan gurame mati dengan tujuan pasar muara angke. Masing-masing dari truk tersebut biasanya mampu mengangkut 3 ton ikan gurame. “Muatannya bisa lebih banyak, karena ikan gurame yang mati tidak diangkut dengan menggunakan air.”
Meski demikian, Budi menggarisbawahi jika jumlah tersebut masih jauh dari cukup, karena permintaan masyarakat Jakarta terhadap jenis ikan yang banyak dikonsumsi oleh kalangan masyarakat kelas mengengah-atas ini masih jauh lebih besar dari pasokan yang mampu disediakan oleh para pembudidaya. “Dari dulu sampai sekarang suplai ikan gurame masih kurang terus. Pembudidaya masih belum mampu memenuhi permintaan. Terutama untuk memenuhi permintaan pasar Jakarta dan sekitarnya,” ungkap Budi.
Permintaan masyarakat terhadap ikan gurame inipun akan semakin besar pada saat lebaran dan tahun baru tiba. Satu hal yang membuat bisnis gurame ini kian menarik adalah, tingginya permintaan masyarakat Jakarta terhadap ikan gurame ternyata tidak terpengaruh dengan adanya kenaikan harga BBM. “Pasca kenaikan harga BBM permintaan justru semakin meningkat,” imbuh Budi meyakinkan. Menurutnya, hal tersebut tak lepas dari segmen pasar ikan gurame yang membidik kalangan ekonomi mengengah-atas, sehingga para konsumennya pun tak pernah terpengaruh dengan adanya kenaikan harga BBM.
Karena itu, Budi pun berujar dengan nada optimis, “Kalau saja suplainya ditambah menjadi dua kali lipat dari saat ini, saya yakin pasti masih akan terserap.” Kenyataanya, suplai gurame dari para pembudidaya masih belum mampu memenuhi kuota tersebut dan ini menjadi peluang besar bagi para kaum pemodal yang ingin terjun dalam bisnis budidaya ikan gurame.

Diserap Restoran dan Swalayan
Menurut Budi, tingginya permintaan gurame di Jakarta dan sekitarnya ini tak lepas dari semakin menjamurnya restoran-restoran seafood yang tak pernah absen menyediakan menu berbahan ikan gurame. Selain itu, besarnya pemintaan ikan gurame juga datang dari pasar-pasar swalayan, yang pada akhir-akhir ini selalu menyediakan gerai khusus untuk ikan gurame. “Biasanya restoran-restoran besar dan pasar swalayan minta gurame hidup. Sedangkan gurame yang mati masuk ke pasar tradisional dan restoran-restoran kecil,” terang Budi yang biasa mensuplai gurame ke restoran, Hero dan Giant.
Tingginya serapan pasar ikan gurame di wilayah Jakarta dan sekitarnya juga diakui oleh Galih Adi Nugroho, Pemilik depot pakan ikan dan kemitraan budidaya gurame Putra Mangestoni di Bantul-Yogyakarta, “Wilayah Jakarta dan sekitarnya memang merupakan pasar terbesar untuk ikan gurame.” Alasan tersebutlah yang menyebabkan Galih dan para mitranya menjadikan Jakarta sebagai tujuan utama untuk memasarkan gurame yang dihasilkannya. “Setiap minggu saya bisa kirim gurame 3 – 5 kali ke Jakarta dan Puncak-Bogor, antara 1,5 – 3 ton,” sambung Galih yang juga putra dari ‘bos’ gurame kondang di eks Karasidenan Banyumas. Hampir semua dari ikan gurame yang dikirim Galih juga bermuara di restoran-restoran besar.
Semakin besarnya serapan pasar swalayan terhadap ikan gurame juga pernah dirasakan Galih. Bersama dengan ayahnya dia pun sempat mencoba untuk memasok gurame ke Carraefour. Meskipun pada akhirnya mereka merasa kewalahan, karena permintaan salahsatu pasar swalayan terbesar tersebut terus meningkat dari waktu ke waktu. “Mulanya mereka hanya minta 5 kuintal/hari. Lama-lama 2 ton/hari dengan kualitas yang harus sama persis. Akhirnya kami mundur, karena masih pingin bisa tidur dengan nyenyak,” kisahnya sambil terkekeh.

suber: Majalah TROBOS


Tidak ada komentar:

Posting Komentar