Minggu, 12 April 2009

Gurame Sehat, Untung Hebat

Kuncinya, gurame harus sehat agar tumbuh cepat dan kerugian akibat kematian dapat ditekan.

Matahari belum bangun dari peraduannya, ketika serombongan orang menyusuri pematang di hamparan kolam gurami milik HR Soerjadi di desa Pabuaran, Kemang Bogor. Hari itu, Soerjadi menerima kunjungan studi banding anggota kelompok pembudidaya gurame Mina Raharja yang disponsori LSM Lembaga Pengkajian Agribisnis Strategis (LPAS). Jauh-jauh dari Jogjakarta, mereka ingin membangun kembali semangatnya setelah usahanya hancur terkena gempa dahsyat tahun lalu.
Pada kesempatan itu Soerjadi mengingatkan bahwa ikan gurame, kini telah menjadi komoditas yang bernilai ekonomi tinggi. Memang, dengan hitungan sederhana, dan harga gurame di kolam (Bogor) Rp 18.000,- maka didapat hasil penjualan kotor sebanyak Rp 36 juta, cukup untuk bayar biaya haji.
Jika dihitung dengan analisa sederhana, keuntungannya mencapai 20% ! Ikan sebanyak itu pun hanya membutuhkan kolam tak lebih dari 10 x 10 m2. Semakin kecil ukuran benih yang di tebar untung semakin besar meski berisiko semakin lama masa pemeliharaannya. Dari benih size 5 (5 ek/kg), dalam 4 – 5 bulan bisa dipanen 1 kg/ekor.
Kuncinya, gurame harus sehat agar tumbuh cepat dan kerugian akibat kematian dapat ditekan. Tindakan pencegahan dimulai dari penggunaan air yang tepat, pemilihan bibit yang bebas penyakit dan jelas asal-usulnya.

Mulai dari Air
Kunci utama kehidupan ikan adalah kuantitas dan kualitas air yang mampu menopang kehidupan ikan dan tidak mengandung zat ataupun organisme yang membahayakan ikan. Air yang digunakan bisa berasal dari sungai, genangan air, maupun mata air/air sumur. Menurut Ir Hardaningsih, dosen Jurusan Perikanan UGM yang juga mendampingi studi banding ini, sebelum ditebari ikan, air harus diendapkan terlebih dahulu selama beberapa hari. Sebab, pada kondisi tanah tertentu, air mata air / air sumur banyak mengandung Fe ataupun S yang berbahaya bagi ikan. Jika kadar Fe dan S terlalu tinggi, sebelum masuk kolam pengendapan air disaring dengan menggunakan arang dan kapur.
Pengendapan lebih bagus dilakukan di kolam khusus yang ditumbuhi eceng gondok. “Eceng gondok menjadi filter biologis. Ia juga bersifat menyerap logam berat dari air,” terang pria yang akrab dipanggil Gandung ini. Jika kolam pengendapannya luas, maka eceng gondok bisa dibiarkan tumbuh hingga ¾ dari luas kolam.
Menurut pengalaman Soerjadi, air yang akan digunakan harus diendapkan, baik yang berasal dari mata air, genangan (rembesan tanah / embung ataupun air hujan), apalagi air sungai. “Kalau air sungai, meski diendapkan pakai eceng gondok tetap ada yang mati setelah ditebari. Memang yang paling bagus adalah air dari mata air,”papar pembudidaya gurame sejak 30 tahun lalu ini.
Air kolam yang baik mengandung banyak oksigen dan sedikit amonia. Di daerah tertentu, ada yang airnya memiliki kandungan oksigen yang rendah, terutama di daerah hilir. “Seperti di Cilacap, aerator harus dinyalakan waktu malam hari,” tutur Soerjadi. Hanya saja, ketika ia mencoba menerapkannya, justru ikan-ikannya mabok karena lumpur kolam seperti diaduk-aduk. Setelah itu ia menyimpulkan bahwa aerasi hanya dapat dilakukan di kolam yang karakteristik tanahnya cenderung berpasir atau tanah yang tidak berlumpur. Untuk mengatasi amonia, Gandung menyarankan agar menggunakan probiotik yang mengandung bakteri pengurai nitrogen. “Sebab ada produsen probiotik yang ngawur katanya produknya bisa untuk A sampai Z tapi tidak diketahui apa mikroorganisme aktifnya,”pesannya.

Sumber : TROBOS

Tidak ada komentar:

Posting Komentar