Minggu, 10 Mei 2009

Ekspor Patin Masih Terganjal

Patin Indonesia kalah bersaing dalam hal harga dengan patin Vietnam

Tekad Indonesia untuk menggeser posisi Vietnam sebagai produsen utama patin dunia masih membentur dinding beton. Alih-alih mewujudkan tekad tersebut, pasar dalam negeri justru kebanjiran oleh produk patin asal Vietnam. Alasanya, karena kalah bersaing soal harga.
“Patin Vietnam telah masuk pasar Indonesia sekitar 500 ton per bulan,” kata Dirjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan – Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) pada acara temu bisnis peluang usaha dan investasi patin di Jakarta awal April lalu. Dia menyebutkan, harga patin dari Indonesia mencapai Rp 17. 000 per kg, sementara Vietnam bisa menjualnya dengan harga yang jauh lebih murah yaitu Rp 9.000 per kg. Tak heran jika konsumen utama patin seperti Amerika Serikat (AS) dan Uni Eropa (UE) lebih memilih patin dari Negeri Paman Ho.

Tak Bisa Jual Patin
Kondisi terakhir inilah yang menjadi keluhan pelaku usaha patin di tanah air. Denny Indradjaja, General Manager Business Research and Government Relation PT CP Prima yang hadir pada acara tersebut menganggap, pasar patin untuk saat ini kurang prospektif. “Selama kita tak bisa menjual patin dengan harga seperti Vietnam, maka kita tetap tidak bisa ekspor patin,” katanya setengah putus asa.
Denny menuturkan, pihaknya pada tahun lalu telah memulai usaha budidaya patin bekerjasama dengan Loka Riset Pemuliaan dan Teknologi Budidaya Perikanan Air Tawar, Sukamandi. Tujuan utamanya adalah menembus pasar ekspor. Maka tak tanggung-tanggung, mereka mengadopsi persis semua teori budidaya patin yang diterapkan di Vietnam.
Hasilnya cukup fantastis. Emma Dolly Raphen, Marketing Commercial Fish PT CP Prima menyebutkan, produksi perdana budidaya patin ala Vietnam itu mencapai 150 ton untuk dua kolam ukuran 6000 m2. “Tapi, kita tak bisa menjualnya karena kalah harga dengan Vietnam,” katanya. Patin-patin tersebut kini bahkan telah mencapai ukuran 1,5 sampai 2 kg dengan masa budidaya mencapai hampir setahun.

Ada Peluang
Tingginya harga patin Indonesia jika dibandingkan dengan patin Vietnam juga diakui Saut P Hutagalung, Direktur Pemasaran Luar Negeri, Ditjen P2HP DKP. Tapi, katanya, harga yang murah itu karena kandungan air patin Vietnam sangat tinggi hingga mencapai 40%. “Kalau dioven, daging patin Vietnam susut tinggal 60%,” ujarnya. Sementara menurut Emma, kandungan air patin Indonesia hanya 10%.
Walau demikian, kata Saut membesarkan hati, masih ada peluang bagi patin Indonesia di pasar dunia. Menurut dia, konsumen patin di AS dan UE saat ini sudah tahu kalau patin Vietnam murah karena kandungan airnya tinggi. Selain itu, lingkungan budidaya di Vietnam juga sudah buruk sehingga produk budidayanya bisa mengkhawatirkan konsumen. Beda dengan Indonesia yang mengembangkan patin dari lingkungan yang masih baik.
“Peluang masih terbuka. Beberapa negara seperti Kanada, Slovakia dan Uni Emirat Arab sudah meminta pasokan patin dari Indonesia,” katanya. Mereka meminta patin yang berdaging putih dengan ukuran minimal 800 gram.
Menurut Saut, adanya krisis finansial global telah meningkatkan permintaan patin. Sebab, harga patin lebih murah dibandingkan dengan ikan-ikan lainnya. Disamping itu, adanya pembatasan penangkapan ikan cod di UE karena telah kelebihan tangkap (overfishing) juga kian mendongkrak permintaan patin di sana. Patin dianggap bisa menggantikan kedudukan ikan cod yang selama ini menjadi makanan favorit penduduk Eropa. Struktur daging ikan berkumis ini hampir sama dengan ikan cod dan harganya murah.
“Tantangan kita saat ini adalah membuat patin lebih murah biaya produksinya,” ujar Saut. Ditambahkan Martani, “Kalau bisa menggantikan impor patin dari Vietnam, itu sudah luar biasa.”

Terobosan Teknologi Budidaya
Demi menghasilkan patin dengan biaya produksi yang rendah ini maka harus ada terobosan teknologi budidaya yang bisa mempercepat pertumbuhan patin. Demikian diungkapkan Gunadi Ali Wirawan, Diektur Utama PT Muara Manggalindo pada kesempatan yang sama.
Menurut dia saat ini untuk mencapai ukuran patin 1 kg membutuhkan waktu sekitar 9 bulan. “Padahal ada yang sudah bisa budidaya dalam waktu 5 bulan. Karena itu kecepatan tumbuh harus dikejar,” kata Gunadi yang mengaku telah melakukan ekspor fillet patin.
Dia menambahkan, ada banyak faktor yang membuat harga patin di Indonesia lebih mahal daripada Vietnam, yang utamanya adalah komponen teknologi budidaya dan pakan. Vietnam bisa menghasilkan patin murah karena pakannya juga murah dan masa budidayanya singkat.
Dia menyebut, harga pokok patin Vietnam berkisar Rp 6000-7000 per kg. Sedangkan di Indonesia, harga pokoknya berkisar Rp 8.000 – Rp 11.000 per kg. Karena itu, sulit bagi Indonesia untuk menyamai harga patin Vietnam.
Sementara itu dalam proses pengolahan fillet patin, Vietnam merendam daging patin di dalam air dengan diberi bahan kimia yang bisa menahan air tersebut agar tak keluar lagi. Alhasil, bobot fillet patin menjadi bertambah. Menurut Gunadi, bahan kimia ini kini telah dilarang penggunaannya oleh FDA (Badan Pengawasan Obat dan Makanan) AS.
Soal pakan, Vietnam bisa lebih murah karena sebagian bahan baku pakan bisa diproduksi di dalam negeri. “Vietnam utara beriklim subtropis sehingga bisa ditanami kedelai untuk bahan pakan,” kata Gunadi. Sedangkan Indonesia, nyaris semua bahan baku pakannya seperti kedelai dan jagung harus impor.
Selain itu, kata Denny menambahkan, pakan di Vietnam bisa lebih murah karena impor bahan baku pakannya bebas bea masuk (BM). “Kalau di Indonesia, BM bahan bakuk pakan mencapai 5%. Karena itulah harga pakan di sana bisa lebih murah 10 -15% dibandingkan pakan Indonesia,” ujarnya.

Sumber: Trobos, Mei 2009

Akuakultur China Meraja, Indonesia Keteter

Produksi gemilang akuakultur China dimulai pada start yang sama dengan Indonesia pada 1949, di angka 20 ribu ton/tahun

China benar-benar membuktikan ramalan banyak pakar yang menyebutkannya bakal menjadi kekuatan besar di dunia. Paling tidak, ini terlihat jelas di sektor perikanan.
Negeri Panda tersebut secara menakjubkan berhasil meningkatkan produksi perikanan budidaya hingga menjadi yang terbesar di dunia, mencapai lebih dari 40 juta ton per tahun. China sadar betul, ke depan, masyarakat dunia akan kian membutuhkan pasokan produk perikanan. Apalagi dengan adanya tren untuk lebih memilih mengkonsumsi produk hewani berdaging putih (white meat) daripada daging merah (red meat). Maka, produksi perikanan budidaya harus digenjot. Sebab perikanan tangkap sudah tak mungkin lagi diharapkan setelah terus menerus dieksploitasi sumberdayanya. Dengan kata lain, perikanan budidaya adalah kunci memenangi persaingan dunia yang kian ganas.
Lebih dari itu, China juga berkepentingan untuk mencukupi sendiri kebutuhan ikan bagi satu setengah miliar warganya. Itulah mengapa China habis-habisan mengembangkan industri perikanannya. Satu bukti keseriusan China mengembangkan perikanan mereka adalah dengan membangun pasar ikan terbesar di dunia dengan luasan tak kurang dari 40 hektar. Diperkirakan, pasar ikan yang kini sedang dibangun di Shanghai tersebut nilai transaksinya akan melampaui transaksi Pasar Tsukiji Hideji Otsuki—pasar induk ikan terbesar di dunia saat ini—di Tokyo Jepang. Perputaran uang untuk ikan di Pasar Tsukiji yang sudah ada sejak zaman Edo (sekitar 400 tahun lalu) tersebut sekitar 300 juta yen per hari (sekitar Rp 27,6 miliar).
Hebatnya lagi, produksi yang gemilang atas perikanan budidaya China ini dimulai pada start yang sama dengan Indonesia, yakni berada pada angka produksi 20 ribu ton per tahun pada 1949. Sayangnya beberapa dasawarsa setelah itu, produksi perikanan budidaya China melesat meninggalkan Indonesia. Kendati dari sisi potensi wilayah, Indonesia lebih unggul dibandingkan Negeri Tirai Bambu itu (lihat tabel). Diperkirakan, produksi perikanan China masih akan terus meningkat dalam beberapa tahun ke depan. Bahkan akan bisa melampaui produksi babi yang selama dua dasawarsa terakhir menjadi sumber utama protein hewani di sana.
Sementara Indonesia yang meskipun menurut data FAO 2007 masih bertengger di posisi ke tiga sebagai produsen akuakultur dunia, namun angka produksinya sangat jauh dari China. Hanya 3 juta ton, sangat tidak sepadan dengan potensi akuakultur bumi nusantara yang sangat besar. Padahal seperti China, Indonesia termasuk negara dengan populasi penduduk yang besar. Siswono Yudo Husodo, Dewan Penasehat HKTI (Himpunan Kerukunan Tani Indonesia) dalam satu kesempatan di Jakarta menyebutkan, dalam waktu 40 tahun, penduduk Indonesia akan menjadi 2 kali lipat. Jika tahun 2000 jumlah penduduk Indonesia mencapai 200 juta jiwa, maka pada 2040, populasinya akan menjadi 400 juta jiwa.
”Ini akan menjadi pasar raksasa,” kata Siswono mengingatkan. Jika akuakultur dipastikan akan mendominasi konsumsi pangan hewani di masa depan, maka Indonesia setidaknya harus bisa mencukupi sendiri kebutuhan produk tersebut bagi warganya. Jika tidak, Indonesia hanya akan menjadi bulan-bulanan produk akuakultur dari negara lain.

Permintaan Pakan Meningkat
Peran penting akuakultur memang kian tak terbantahkan. Karena itulah beberapa negara ramai-ramai meniru langkah China, terutama negara-negara di Asia Pasifik seperti India, Vietnam, Thailand dan tentu saja Indonesia. Mereka mengekor China dan bersaing ketat sebagai produsen akuakultur utama dunia.
Adanya perlombaan produksi perikanan budidaya menurut Budi Tangendjaya –peneliti dan konsultan pakan ternak dan ikan— bisa ditengarai dari meningkatnya konsumsi perikanan dunia terutama di Amerika Serikat dan di Uni Eropa (UE). Walau demikian, harga komoditas tersebut justru turun. Artinya telah terjadi peningkatan volume produksi perikanan budidaya di dunia. Sebab, produksi perikanan tangkap cenderung stagnan dalam beberapa tahun terakhir.
Kian berpacunya banyak negara dalam menghasilkan ikan-ikan budidaya juga terlihat dari permintaan pakan (pellet) ikan dan udang yang cenderung meningkat. Budi mengatakan, permintaan pakan ikan dan udang ini akan terus naik karena budidaya ikan secara tradisional yang menggunakan pakan alami seperti ikan rucah sudah mulai ditinggalkan dan beralih menggunakan pakan buatan. Di China misalnya, kata Budi, produksi akuakultur meningkat karena penerapan teknologi budidaya intensif yang tidak mengandalkan pakan alam melainkan dari pabrik.
Secara terpisah, Ketua Divisi Ikan Asosiasi Produsen Pakan Indonesia (GPMT), Denny Indradjaja menyebutkan, permintaan pakan ikan dan udang di seluruh dunia terus naik. Di Indonesia saja terjadi peningkatan sebesar 5%. Sementara, kenaikan permintaan pakan terbesar terjadi di Vietnam, yakni mencapai 10%. ”Semua pabrikan pakan ikan/udang di dunia saat ini mempunyai pabrik di Vietnam,” Denny menjelaskan.
Denny menyebutkan, untuk ikan patin saja Vietnam membutuhkan 1,5 juta sampai 2 juta ton pakan ikan per tahun. Sedangkan di Indonesia, total pemanfaatan pakan ikan dan udang setiap tahunnya hanya sekitar 800 – 900 ribu ton. Secara umum, serapan pakan ikan/udang di tanah air hanya 30% dari serapan pakan ikan/udang Vietnam dan 10 – 15% dari serapan pakan ikan/udang di Thailand.
Padahal menurut Denny, penggunaan pakan buatan ini sangat penting dalam mendukung kegiatan akuakultur. Pellet bisa mempercepat masa budidaya hingga 2 kali lipat. Penggunaan pakan formula ini di negara-negara kompetitor di atas sudah mencapai 80%. Sedangkan di Indonesia baru sekitar 60%.
Di sisi lain, Vietnam juga sangat cerdik memanfaatkan bahan-bahan lokal sebagai bahan baku pakan, yakni mencapai 70%. Misalnya, menurut Budi, Vietnam tidak lagi menggunakan tepung ikan yang mahal sebagai sumber protein bagi pakan ikan patin. Hal itu memungkinkan karena patin tidak membutuhkan protein yang tinggi, cukup 22% bukan 32%. Sebagai sumbernya, mereka menggunakan bungil kedelai, MBM (meat bone meal/tepung tulang dan daging) dan PMM (poultry meat meal/tepung daging unggas) yang jauh lebih murah daripada tepung ikan. Sementara di Indonesia, kandungan bahan lokal pada pakan ikan/udang menurut Denny baru sekitar 30%. Sehingga biaya pakan ikan/udang di Vietnam lebih murah daripada di Indonesia.

Peluang Budidaya Kepiting Soka Menganga

Permintaanya terus meningkat dan usaha budidayanya belum berkembang. Sayang masih terkendala bibit

Cara lama menyantap kepiting telah berakhir. Anda tak perlu berjuang mengkorek-korek cangkangnya demi mengeluarkan dagingnya. Alih-alih, cangkang tersebut bisa dimakan.
Kepiting inilah yang kerap disebut sebagai kepiting soka/lunak (soft shell). Semua bagian tubuh kepiting tersebut bisa dimakan, termasuk cangkangnya yang keras. Fakta itu tak ayal membuat popularitas kepiting soka naik.
Permintaannya terus melonjak meski harganya cukup tinggi. Harga per kilonya bisa mencapai sekitar Rp 60 ribu. Namun, hidangan ini belum banyak tersedia di restoran-restoran penyaji makanan akuatik.
Pasokan kepiting soka masih rendah karena usaha budidayanya belum berkembang. Alasannya terkendala oleh bibit yang selama ini hanya mengandalkan tangkapan alam. Kendati demikian, usaha budidaya kepiting soka tetap menyimpan peluang besar. Apalagi dengan kian bertambahnya penggemar Mr. crab dari hari ke hari.

Produk Rekayasa Budidaya
Lepas dari masalah bibit, budidaya kepiting soka telah mulai dikembangkan di beberapa daerah di pesisir tanah air. Salah satunya di Sidoarjo Jawa Timur. Adalah para tenaga pengajar budidaya di Akademi Perikanan Sidoarjo (APS) yang mulai mengembangkan teknik budidayanya.
Kepiting ini pada dasarnya merupakan produk rekayasa budidaya yang menghasilkan kepiting dengan kulit (cangkang/karapas) yang lunak. Menurut Ketua Jurusan Budidaya APS, Moh. Zainal Arifin, intinya adalah memanen kepiting yang dipelihara saat ganti kulit (molting).
Jenis kepiting yang dibesarkan yaitu kepiting bakau. Kata Zainal, setidaknya ada 3 jenis kepiting bakau yang punya nilai ekonomis tinggi antara lain Scylla serrata, Scylla oceanica, dan Scylla transquebarica.
Dari ketiga jenis kepiting tersebut, Scylla serrata pada umur yang sama umumnya berukuran lebih kecil dibandingkan kedua jenis lainnya. Namun dari segi harga dan permintaan, jenis Scylla serrata terbukti lebih unggul.
Lebih lanjut ia menjelaskan, percobaan teknik budidaya kepiting soka yang diterapkan di lahan praktek budidaya milik AP seluas 17,5 hektare menggunakan sistem keramba apung. “Kita buat seperti keranjang apung dengan membuat kotakan-kotakan kecil untuk menaruh kepiting atau biasa disebut kolam baterai,” kata Zainal kepada TROBOS beberapa waktu lalu di Sidoarjo.
Masing-masing keramba, lanjutnya, digantungkan pada jalur tali tambang yang dibuat memanjang sesuai dengan ukuran tambak. Posisi keramba sejajar dengan permukaan air. Kedalaman air tambak yang ideal sekitar 1 meter. Keramba dibuat dari bambu yang diikat dengan tali tambang dengan sekatan menggunakan jaring
Ukuran keranjang adalah panjang 1 meter dan lebar 50 cm, dengan kedalaman 15 cm. Satu keramba disekat menjadi 18 petak dengan masing-masing petak berukuran panjang, lebar dan dalam 15 cm. Satu petakan muat untuk memelihara seekor kepiting dengan kedalaman air 10 cm. Pola pemeliharaan sistem sekatan ini cukup efektif, mengingat kepiting punya sifat kanibalisme yang cukup tinggi.
Dengan ukuran tambak milik APS yang digunakan seluas 4 ribu meter persegi, bisa dibuat sekitar 750 keramba. Artinya, dengan tambak seluas itu bisa memelihara tidak kurang dari 13 ribu ekor kepiting. Biaya membuat satu keramba sekitar Rp 100 ribu. Rata-rata kepiting yang dipelihara berukuran 100 gram per ekor atau 1 kg isi 10 sampai 12 ekor.
Bibit kepiting dibeli dari nelayan dengan harga sekitar Rp 15 ribu per kg. Sebelum mulai dipelihara dalam keramba, terlebih dahulu dilakukan pemotongan bagian tubuh kepiting yaitu dengan melepas sepasang capit dan 3 pasang kaki jalan. “Rekayasa tersebut dilakukan untuk merangsang terjadinya proses molting,” jelas Zainal.

Sumber : Trobos, Mei 2009