Sabtu, 02 Mei 2009

Riau Akan Bangun Pabrik Ikan Villet di Kampar

ImageRencana pembangunan pabrik ikan villet (daging bersih) di Kampar segera memasuki tahap pelaksanaan. Diperkirakan, April 2009 nanti penawaran pembangunan pabrik ikan villet akan dimulai, lokasinya di Desa Koto Perambahan, Kecamatan Kampar Timur, Kabupaten Kampar. Tergetnya akan merambah pasar ekspor.


Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Riau, Tengku Dahril, pada acara ekspos PT Kamparikom di kediaman Gubernur Riau, Jl. Gajah Mada, Pekanbaru,Kamis (19/3/2009) mengatakan, Pemprov Riau dan Pemkab Kampar hanya sebagai penyerta modal dalam pembangunan pabrik tersebut. Sedangkan pembangunannya dilakukan oleh PT Bonekom dan pengelolaannya dilakukan PT Kamparikom.

”Anggaran yang dibutuhkan pada tahap awal ini sekitar Rp 10 miliar sampai Rp 15 miliar lebih. Dengan rincian anggaran 38% dari Bonekom yang akan membangun pabrik ikan, Pemkab Kampar 38% dan Pemprov Riau 28%. Pihak BI (Bank Indonesia) juga sudah menyanggupi untuk memfasilitasi pembangunan pabrik pengolahan ikan ini. Kalau anggaran yang dibutuhkan hingga selesai yaitu sekitar Rp 200 miliar,” jelas Dahril kepada riaubisnis.com.

Dahril mengungkapkan, pembangunan pabrik ikan itu pelaksanaannya akan memakan waktu sembilan bulan hingga setahun. Kebutuhan awalnya, 30 ton ikan jenis patin dan nila untuk diolah menjadi ikan villet, yaitu sejenis produk ikan yang dibuka tulang dan kulitnya baru dipasarkan. ”Produksi awal untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, setelah cukup berkembang baru kita lakukan ekspor ke luar. Target kita yang pertama adalah ke Timur Tengah, Eropa dan Amerika,” paparnya.

Untuk memenuhi kebutuhan ikan di pabrik pengolahan, kata Dahril, budidaya ikan juga akan dikembangkan di tiga sungai besar lainnya. Yakni Sungai Indragiri, Rokan dan Siak, serta daerah lainnya yang memiliki sungai dan berpotensi untuk menghasilkan ikan.

”Tadi perusahaan telah melakukan ekspos terkait dengan masalah internal publik dan perencanaan masyarakat. Karena ikan yang akan dikelola oleh pabrik nantinya merupakan ikan hasil masyarakat, di antaranya masyarakat inti yang tiap hari menghasilkan ikan 30 ton dan akan dikembangkan menjadi 80 ton perhari. Hingga 2018 produksi ikan petani di Riau kita harapkan telah mencapai 180 ton per hari,” ujar Dahril.

Dahril menambahkan, Gubernur Riau sangat mendukung rencana pendirian pabrik pengolahan ikan pertama di Riau tersebut. Untuk itu, dia berharap sungai-sungai lain yang ada di Riau bisa dikembangkan sehingga dapat membangun pabrik pengolahan yang sama. ”Untuk wilayah Kampar saja produksi ikannya saat ini sudah mencapai 52-60 ton per hari. Khusus patin baru sekitar 50% dari jumlah produksi. Namun demikian, produksi ikan ini sudah sangat memungkinkan untuk didirikan pabrik pengolahan ikan villet,” ungkapnya.

Untuk pemasaran ikan hasil produksi, rencananya dilakukan langsung kepada konsumen dalam dan luar negeri, serta pemasaran dalam bentuk olahan. ”Sampai saat ini Riau telah menghasilkan 10 produk turunan ikan. Seperti ikan salai, nugget ikan patin, kerupuk, bakso ikan, burger, roti naga dan banyak lagim,” kata Dahril.

Sementara itu, Sekretaris Daerah Kampar, Zulher mengatakan, Pemkab Kampar sudah lama menginginkan adanya pembangunan pabrik pengolahan ikan. Karena potensi ikan yang ada di daerah itu, sudah mendukung didirikannya sebuah perusahaan pengolahan ikan, baik ikan patin maupun ikan nila.

”Bupati Kampar sangat komit untuk mendirikan pabrik pengolahan ikan. Ini merupakan satu-satunya upaya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat petani. Apalagi visi Kampar ingin menjadi pusat agribisnis. Untuk sarana dan anggaran kita sudah siap,” ucap Zulher, tanpa menyebutkan secara rinci berapa anggaran tahap awal yang akan disediakan oleh Pemkab Kampar, untuk mendukung pembangunan pabrik pengolahan ikan villet itu. (*)


sumber: RiauBisnis, Maret 2009

WWF Menekankan Pentingnya Perikanan Budidaya yang Berkelanjutan

The World Wildlife Fund (WWF) telah merespon laporan terbaru dari PBB, menekankan perlunya peningkatan dalam budidaya ikan dan udang yang berkelanjutan.

Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) mengatakan bahwa pasokan makanan dari sektor budidaya sekarang adalah sama dengan hasil tangkapan perikanan laut dan air tawar.

Berdasarkan dokumentasi laporan hasil perikanan tangkap yang terus mengalami penurunan (drop-off), FAO mengatakan “Diperlukan pendekatan manajemen kegiatan perikanan yang lebih terkontrol”.

“Sektor budidaya mengalami pertumbuhan yang dramatis sehingga sangat diperlukan kepastian segera tentang keberlanjutan dan kemampuan dalam menyediakan stok dan pangan untuk mengurangi beban pada perikanan tradisional,” ungkap Miguel Jorge, Direktur Program Kelautan Global WWF.

“Pembukaan lahan di area mangrove harus dihentikan karena area ini merupakan habitat ikan yang rentan terhadap kerusakan lingkungan sehingga resiko polusi dan penyakit harus diturunkan.

Serangkaian dialog akuakultur yang diselenggarakan oleh WWF dan melibatkan lebih dari 2000 petani, organisasi masyarakat (NGO) dan para ahli sedang membuat standar global untuk menurunkan dampak serius dari kegiatan budidaya terhadap lingkungan dan sosial.

Pertimbangan standar awal sedang difokuskan pada 12 spesies dengan dampak ekonomi dan lingkungan yang paling serius, dan diurus oleh badan yang serupa dengan Marine Stewardship Council, perintis skema sertifikasi perikanan tangkap yang berkelanjutan.

SOFIA 2008 juga mencatat peningkatan sebesar 80% dalam jumlah hasil perikanan yang telah melebihi kapasitas (over-exploited), sehingga penurunan stok ikan mengancam ketahanan pangan di negara-negara berkembang dan kelangsungan hidup masyarakat pesisir di seluruh dunia.

(Sumber : www.thefishsite.com, Maret 2009

Ikan Patin Raksasa

PALEMBANG — Seekor ikan patin (Pangasius hypothalmus) raksasa seberat 43 kg dengan panjang sekitar 1,3 meter berhasil ditangkap nelayan di Sungai Musi. Patin yang umurnya diperkirakan sekitar delapan tahun itu dijual pedagang ikan di Pasar Cinde seharga Rp 2,3 juta.

Ukuran ikan itu memang ekstrabesar, hampir sama tinggi dengan anak usia lima tahun. Lebar tubuh mencapai 40 cm. Perutnya mengelembung berisi telur sekitar 3 kg. Warnanya putih dan belang hitam di bagian punggung, terasa kenyal saat dipegang.

Dapat dibayangkan, untuk seokor patin ukuran 1 kg biasanya habis oleh tiga orang sekali makan. Berarti, ikan raksasa ini cukup untuk lauk makan 130 orang.

Menurut Heri, selama lebih dari 20 tahun berdagang ikan di Pasar Cinde, baru kali ini ia mendapat ikan patin sungai seberat 43 kilogram. Ia mendapatkannya dari Yanto, seorang pengumpul ikan dari nelayan di kawasan Sungai Lais, sekitar pukul 08.00.

Ikan patin itu masih hidup saat dibawa ke pasar. Awalnya Yanto menawarkannya kepada Zairul, pedagang ikan lainnya. Namun, Zairul tidak sanggup membelinya karena Yanto menetapkan harga Rp 40.000 per kg atau sekitar Rp 1,6 juta.

"Kalau patin 30 kg itu biasa, kadang dapat kita. Namun, kalau sebesar anak SMP seperti ini baru luar biasa," kata Heri. Kehadiran ikan raksasa di lapak dua bersaudara ini sempat mengundang perhatian warga, bahkan sesama pedagang ikan pun sempat dibuat takjub. Memang ikan sebesar ini merupakan pemandangan yang tidak lazim.

"Ikan sebesar ini bukan dimakan buaya, tapi dia yang makan buaya," kata seorang pria yang mengamati patin itu dari dekat. Sumiati (47), seorang pegawai yang belanja ikan di Cinde mengaku kaget melihat ikan itu. Seumur hidupnya baru kali ini ia melihat ikan patin sebesar itu. "Tidak kuat mengambilnya, apalagi makannya. Mungkin untuk sedekahan makan 100 orang, ikan itu dak bakal habis," katanya.

Banyak warga yang mengambil gambar ikan raksasa itu menggunakan ponsel. Ada juga yang penasaran dan memencet tubuh ikan itu. Beberapa warga tertarik dan menanyakan harganya, tetapi urung karena Heri menyebut Rp 55.000 per kg.

Heri menolak ikan itu dipotong-potong. Karena kemarin tidak ada yang sanggup membelinya, ikan itu akan dijual ke Pekanbaru. "Kami bakal dapat untung besar karena harga ikan ini bisa sampai Rp 55.000 per kilo," ujar Heri.

Menurut dia, semakin besar ukuran ikan patin sungai, akan semakin mahal pula harganya. Harga ikan patin liar di bawah 5 kg dipatok Rp 40.000, tetapi kalau lebih, akan mencapai Rp 50.000- Rp 55.000 per kilo. Ikan patin sungai juga lebih mahal dari ikan patin tambak yang harganya berkisar Rp 30.000 per kilo.


Dihubungi terpisah, Yanto, pengumpul ikan yang menjual patin itu kepada Heri, mengatakan, patin raksasa seperti itu tergolong langka. Umurnya diperkirakan sekitar 7 atau 8 tahun. "Biasanya dagingnya lebih gurih dan gemuk. Cobalah kamu pasti merasakan bedanya, enak," katanya. (Aang/Wira)

Sumber: Kompas Nov 2008

Bukan Lumpur, Tapi Baglog Jamur


Sudah 2 minggu kolam 20 m2 itu kosong melompong. Eman Rahman, pemilik kolam di Lebakwangi, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, itu sulit mencari lumpur pengisi kolam agar ia segera dapat membudidayakan belut. Padahal, baglog jamur bekas bisa menggantikan lumpur seperti dilakukan Suparmo.

Suparmo, peternak di Desa Caringin, Kecamatan Balaraja, Tangerang, Provinsi Banten, memanfaatkan baglog-media tanam jamur-bekas sejak awal Maret 2009. Untuk mengisi kolam semen berukuran 2,7 m x 2,6 m, ia memerlukan 500 baglog. Sebelum menjadi peternak belut, Suparmo lebih dulu berkebun jamur tiram. Ia mengelola sebuah kumbung jamur berukuran 9 m x 5 m berkapasitas 3.000 baglog. Mula-mula baglog bekas ia gunakan untuk memupuk terung. Melihat pertumbuhan Solanum melongena sangat pesat, ia tertarik mencoba pada belut.

Plastik-plastik pembungkus baglog ia lepaskan. Kemudian pria kelahiran Ciamis 17 November 1966 itu menghancurkan baglog dan menambahkan tanah halus serta kotoran kerbau matang. Porsi bekas media jamur itu 2 kali lipat ketimbang tanah. Campuran ketiga bahan itu ia aduk rata di dasar kolam. Di bagian atas campuran itu, Suparmo meletakkan cacahan batang pisang. Porsinya kira-kira 20%. Cacahan batang pisang mampu merangsang pertumbuhan rotifera sebagai pakan belut.

Adaptasi

Di bagian teratas, barulah ia menambahkan 20% jerami dan mengairi media. Air hanya macak-macak. Total jenderal ketebalan media dari dasar kolam hanya 20 cm. Komposisi media itu ia biarkan selama sebulan agar terjadi fermentasi.

Indikasi media siap pakai jika media tak beraroma busuk. Saat itulah pria 43 tahun itu menebar 20 kg bibit terdiri atas 100-112 ekor per kg. Panjang bibit rata-rata sejengkal tangan. Pekan pertama 215 bibit meregang nyawa. 'Kemungkinan stres karena transportasi dan beradaptasi dengan lingkungan,' kata Suparmo. Maklum bibit belut didatangkan dari Kuningan, Jawa Barat, berjarak lebih dari 400 km.

Pada pekan kedua, Suparmo mendapati kematian belut hanya 2-3 ekor. Setelah itu hingga pada pertengahan April 2009, umur bibit belut sebulan 19 hari, tak ada yang mati. Ayah 3 anak itu memberikan pakan berupa 0,5 kg ikan kecil dan cacahan kodok rebus. Selain itu kadang-kadang ia juga meletakkan ayam mati. Belut tidak makan ayam, tetapi magot alias belatung yang keluar dari bangkai ayam.

Ketika Trubus berkunjung ke kolam, Suparmo tengah mengecek pertumbuhan belut. Secara acak ia mengambil 20 belut di lokasi berbeda. Panjang Monopterus albus itu rata-rata bertambah 5-8 cm dari panjang awal 15-18 cm. Suparmo baru akan memanen serentak pada akhir Juni 2009 sehingga produktivitas belut di media jamur belum diketahui.

Pakan alami

Ide Suparmo memanfaatkan baglog jamur merupakan terobosan baru. Selama ini peternak belut memanfaatkan campuran lumpur sawah dan pupuk kandang sebagai media belut. Yang pasti belut mampu bertahan dan berkembang di media baglog. Menurut Ade Sunarma, MSi, periset di Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Tawar (BBPBAT), Sukabumi, Jawa Barat, penggunaan baglog sebagai media belut merupakan inovasi baru.

Menurut Sunarma media bekas jamur besar kemungkinan mempercepat pertumbuhan pakan alami. Alasannya, media itu lebih mudah terurai karena mengalami fermentasi dari serbuk gergaji, bekatul, dan biji-bijian. 'Apalagi ditambah gedebong pisang yang juga sudah busuk, proses fermentasi lebih cepat,' kata Sunarma. Dampaknya pakan alami lebih cepat tersedia sehingga memacu pertumbuhan belut.

Dengan ketersediaan pakan alami diharapkan belut tumbuh cepat dan seragam. Pertumbuhan yang seragam berarti juga mencegah kanibalisme. Menurut Sunarma keseragaman dipengaruhi faktor biologis dan perilaku. Secara biologis pertumbuhan jantan lebih cepat daripada belut betina. Meski demikian, peternak tak mampu memilih bibit jantan agar lebih dominan.

Soalnya, belut bersifat hemafrodit. Perubahan jenis kelamin secara menetap terjadi ketika belut berumur 3-4 bulan. Selain itu perilaku berebut pakan berpeluang membuat ketidakseragaman. Yang kuat berpeluang mendapat pakan lebih banyak. 'Namun, masih harus dikaji lebih lanjut seberapa besar kemampuan belut mengkonsumsi pakan,' kata Ade.

Penggunaan baglog bekas mempermudah peternak karena jumlahnya melimpah. Di Desa Kertawangi, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bandung, saja terdapat 400 pekebun jamur tiram. Setiap pekebun rata-rata mengusahakan 5.000-10.000 baglog. Ketika jamur tiram kian banyak diusahakan di berbagai kota, peluang untuk mendapatkan baglog bekas pun kian mudah. Selama ini baglog bekas hanya dibuang. Padahal, media apkir itu dapat menjadi hunian yang nyaman bagi belut. (Lastioro Anmi Tambunan)

Sumber: Trubus, Mei 2009

Rahasia Khasiat Belut


Minyak

Kenal minyak bulus? Inilah minyak yang diyakini sebagian kaum hawa membuat payudara berubah kencang bahkan bertambah besar. Menurut Komalasari, pengolah belut di Sukabumi, Jawa Barat, minyak belut mempunyai manfaat serupa. 'Yang mencari minyak belut ke sini untuk keperluan itu sangat banyak,' ujarnya. Tak hanya bekerja mengencangkan saja, minyak belut dapat membuat kulit halus dan licin bak porselin.***


Kepala

Belut juga menyumbang manfaat besar bagi kaum Adam. Di China sejak lama belut menjadi menu afrodisiak alias pembangkit gairah lelaki. Menurut Komalasari bagian belut paling ampuh untuk mendongkrak greng pria adalah kepala. Kepala belut ini dikeringkan lalu digerus halus. Bubuk itu dikonsumsi dengan air putih. ***

Kapsul

Siapa duga belut cocok juga sebagai jamu. Serbuk jamu belut yang dikapsulkan bisa menjadi obat mujarab penambah darah dan penyakit lever. 'Kapsul ini banyak diminta sinshe,' ujar Komalasari. Hanya lever dan darah? Kapsul belut ampuh mendongkrak kekebalan tubuh karena kaya energi. Nilai energi setiap 100 g belut mencapai 303 kkal, jauh lebih tinggi dari telur ayam 162 kkal/100 g dan daging sapi 207 kkal/100 g.***

Hitung Untung Budidaya Belut


Penghujung November 2008, senyum Ifan Gunawan merekah. Maklum dari kolam terpal berukuran 5 m x 5 m pembudidaya belut di Kuningan, Jawa Barat, itu sukses memanen 300 kg belut seukuran jempol orang dewasa, atau sekilo isi 10-20 ekor. Angka itu diperoleh dari 30 kg bibit seukuran sedotan yang ditebar 4 bulan lalu.

Kunci sukses Ifan memelihara Monopterus albus itu salah satunya kualitas bibit. 'Jangan membeli bibit hasil setrum. Dalam waktu 2-3 hari pasti langsung mati,' kata ketua Ciremai Belut Center itu. Selain itu ketersediaan pakan menjadi modal utama sebelum memulai usaha pembesaran. Ifan mengandalkan cacing tanah Lumbricus sp sebagai pakan utama. 'Kebutuhannya cukup besar,' imbuh Ifan. Sebulan pertama, misalnya, Suami Hj Ernawati itu rutin mencemplungkan 1,5 kg/hari cacing. Bulan ke-2, 2 kg/hari, bulan ke-3, 2,5 kg/hari, dan bulan ke-4,3 kg/hari.

Karena itu Ifan sengaja menernakkan cacing dalam 108 terpal berukuran masing-masing 90 cm x 70 cm. Tiga minggu kemudian 100 kg induk yang dibeli seharga Rp50.000/kg sudah mencetak cacing muda. Pantas setiap hari Ifan memanen 30 kg cacing. Angka itu lebih besar daripada kebutuhan pakan untuk belut.

Soal pemasaran, menurut Ifan bukan kendala. Pengepul-pengepul di Kuningan dan Bandung siap menerima berapa pun hasil panen. Tentu saja dengan harga standar, sekitar Rp25.000-Rp27.500/kg. Harga itu lebih tinggi daripada tangkapan alam, Rp20.000/kg. Inilah hitung-hitungan usaha budidaya belut.

Sumber: Trubus, Mei 2009

Belut: Pilihan di Lahan Sempit


Setiap ahad sejak 2006 Warsim memiliki aktivitas baru di luar kesibukan menjaga kios telepon selulernya di Pasar Jatitujuh, Kecamatan Kertajati, Kabupaten Majalengka, Jawa Barat. Ia rajin menyambangi los ikan di pasar itu, bercakap-cakap dengan satu-satunya penjaja belut di sana. Hasilnya, pada Februari 2009, Warsim memanen 75 kg belut senilai Rp1,2-juta dari kolam seluas 10 m2.

Sebelumnya, selama 3 tahun berturut-turut Warsim memantau pergerakan harga Monopterus albus. Kesimpulan: harga terus naik. Warsim mencatat sampai awal 2008 sekilo belut isi 10-20 ekor menjangkau harga Rp22.000-Rp25.000; 2006-2007, Rp15.000-Rp18.000/kg. Namun, belut tangkapan alam di lapak pedagang yang mengecer 60-80 kg/minggu itu tidak selalu tersedia.

Bujangan 25 tahun itu tanggap menangkap peluang ini. Bermodalkan Rp600.000 pada penghujung Oktober 2008 ia membuat sebuah kolam terpal berukuran 2,5 m x 4 m, berjarak 4 m dari pinggir rumah. Kolam itu ditaburi media batang pisang setebal 5 cm, 15 cm tanah, dan 10 kg kotoran kambing. Selanjutnya kolam diisi air setinggi 80 cm. Bibit sebanyak 12 kg dicemplungkan 2 minggu kemudian. Pertama 8 kg isi 100-112 ekor per kg, sepekan berikutnya 4 kg isi 80-90 ekor per kg. Hanya campuran yuyu alias kepiting kecil dan cacahan keong mas, 1 kg/hari, untuk pakan selama 4 bulan masa budidaya.

Trubus menyaksikan Warsim memanen masing-masing 23 kg isi 4-5 ekor/kg, 35 kg isi 7-8 ekor/kg, dan 10 kg isi 70-80 ekor/kg, sisa 10 ekor yang berbobot 0,6-1 kg. Total jenderal diperoleh 75 kg. Setelah dipilah ulang, 60 kg langsung dijual ke pengepul Rp20.000/kg. Sisanya, 15 kg terdiri atas belut yang luka dan berukuran kecil sepanjang 10-15 cm dibagi-bagikan pada tetangga sekitar rumah.

Nun di Sukabumi, Jawa Barat, dan Balaraja, Provinsi Banten, Ade Sumiyati dan Sunarto tengah menanti panen. Mereka berencana membobol kolam pada Mei 2009. Ade memiliki 10 kolam masing-masing berukuran 1,2 m x 2,5 m. Pada tiap-tiap kolam ia menebar 5 kg bibit. Staf tata usaha BPK Penabur di Sukabumi itu berasumsi memanen 50 kg/kolam. Pun Sunarto yang membenamkan masing-masing 40 kg bibit di 6 kolam berukuran 5 m x 5 m pada Desember 2008. Tenaga ahli pembuat aksesori motor itu berharap memanen 1:5. Artinya sekilo bibit menghasilkan 5 kg belut selama 4 bulan pemeliharaan. Andai prediksi Sunarto tepat, dengan harga eceran terendah Rp20.000/kg, ia bakal mengantongi omzet Rp24-juta;Ade, Rp10-juta.

Bertumbangan

Sejak marak dipublikasikan di berbagai media nasional dan milis sepanjang 2006-2007 peternak belut tumbuh bak jamur di musim hujan. Mereka menyebar di Jawa, Sumatera, hingga Kalimantan. Data yang dihimpun Trubus menunjukkan pada 2007 paling tidak terdapat 150-200 pembudidaya belut. Namun, sekitar 80% peternak terkonsentrasi di Pulau Jawa.

Iming-iming pasar besar dan modal kecil menjadi magnet bagi peternak. Sumber Trubus di Solo, Jawa Tengah, menguraikan tingginya permintaan pasar ekspor. Ia menyebutkan Singapura butuh 1 ton/hari; Hongkong 5-10 ton/ minggu; dan Korea 3 ton/hari. Pasar lokal? Pulau Jawa minimal menyerap 100 ton/bulan. Volume itu sampai detik ini belum terlayani. Memang dibanding lele, volume itu tak berarti. Kebutuhan pasar lele Jakarta, misalnya, mencapai 75 ton/hari. 'Belut belum menjadi habit atau kebiasaan seperti lele yang dinikmati segala lapisan,' ujar Kafi Kurnia, konsultan pemasaran agribisnis di Jakarta.

Budidaya belut tidak menyedot biaya besar. Apalagi untuk skala kecil, 1-2 kolam seluas 10-15 m2. Menurut hitung-hitungan Darmin, peternak di Kecamatan Karangsuwung, Cirebon, sebuah kolam plastik seluas 1,8 m x 4,5 m berikut 7 kg bibit, menelan biaya Rp350.000; kolam terpal Rp450.000. 'Karena biayanya murah makanya saya beternak belut,' kata mekanik listrik di perusahaan gula, PG Karangsuwung itu. Ade Sumiyati yang disebut di atas hanya mengucurkan modal Rp3-juta untuk 10 kolam.

Namun, belakangan daya tarik beternak belut agak meredup. Menginjak periode 2007-2008 jumlah peternak terus menyusut. Contoh Gabungan Orang Belut Semarang (GOBES). Sejak berdiri pada 2007 dengan 25 anggota, bersisa 5 peternak pada 2008. 'Yang lain mundur karena gagal. Mereka belum mau melanjutkan lagi,' ujar Budi Kuncoro SPi, ketua GOBES. Sedikit bergeser dari Semarang, di Kendal, Comunitas Peternak Belut Kendal (CPBK) menyisakan 30 dari 70 anggota di awal 2008. 'Budidaya belut tidak segampang yang digembar-gemborkan,' kata Muhammad Nuh, ketua CPBK. Nuh pernah memanen 5 kg dari 15 kg bibit selama 6 bulan budidaya.

Yang bermodal kuat ikut pula terjengkang. Chandra Warasto, misalnya, merugi Rp200-juta. Tahun lalu ia memutuskan menutup usaha ternak belut yang dibangunnya sejak 2006. Menurut pengusaha periklanan di Jakarta itu dari 24 kolam semen berukuran 5 m x 5 m yang masing-masing ditebar 30-40 kg bibit selama 4-6 bulan, budidaya tidak menunjukkan kemajuan berarti. 'Begitu dipanen belutnya sedikit, hanya belasan ekor per kolam. Ukuran belut cuma bertambah panjang, rata-rata seukuran jempol dari sekelingking orang dewasa,' katanya. Padahal pada 2007 pembeli asal Korea ingin melihat langsung kondisi farmnya sekaligus meneken kontrak ekspor.

Media

Apa sebenarnya yang terjadi? Ahmad Sarkan, konsultan belut di Kuningan, Jawa Barat, menuturkan boleh jadi peternak abai mencermati media, pakan, dan bibit. 'Salah satu bagian tidak berjalan baik kegagalannya besar,' katanya. Media, misalnya, sejauh ini belum ada komposisi yang pas. Padahal bahan dasarnya berkisar lumpur sawah, jerami, dan batang pisang. 'Peternak memang dituntut terus mencoba atau belajar dari yang berhasil,' kata Ifan Gunawan dari Ciremai Belut Center di Kuningan, Jawa Barat.

Memakai komposisi 40% lumpur, 40% batang pisang, dan 20% jerami, Budi Kuncoro hakul yakin dapat membesarkan belut. Di lain pihak Ade Sumiyati menggunakan 80% lumpur dan 20% gedebong pisang. Sunarto memilih berbagai komposisi media: 20% lumpur dan 80% batang pisang, 100% lumpur, serta 50% lumpur dan 50% bokashi. Ada pula peternak memakai 80% lumpur, 10% batang pisang, dan 10% jerami. Yang spektakuler dilakukan Suparmo di Balaraja, Provinsi Banten, menggunakan media jamur.

Sejauh ini belum terlihat komposisi terbaik karena rata-rata pemakainya belum melakukan panen sesungguhnya. 'Semua akan jelas hasilnya setelah diangkat. Ini karena pertumbuhan belut tidak bisa dilihat mata, berbeda dengan ikan di akuarium,' kata Ade Sunarma, MSi, periset Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Tawar, Sukabumi, Jawa Barat.

Media matang juga penting. Ini dicirikan oleh air di kolam tidak berubah warna dan tidak berbau. Media akan sempurna setelah difermentasi 2 bulan. Kenyataan, banyak peternak membenamkan belut saat umur peram media baru 1-2 minggu. Walhasil kematian belut melonjak 90%. 'Belut-belut mati karena media masih mengeluarkan gas metana. Ini pula yang membuat peternak di kelompok kami banyak gagal,' kata Budi.

Menurut peternak di kaki Gunung Salak, Bogor, Ir Johny Siahaan, urusan bibit tidak kalah pelik. Johny yang memiliki 5 kolam masing-masing berukuran 5 m x 5 m mempunyai pengalaman buruk. Dari tebar 30 kg bibit di sebuah kolam, semuanya mati dalam tempo 2 minggu. Johny menduga bibit-bibit itu mengalami stres akibat perjalanan. Beruntung ia menemukan solusinya: mengkarantina bibit.

Bibit-bibit itu ditaruh dalam bak berisi campuran air dari asal bibit dan kolam baru. 'Perbandingan air cukup 1:2,' katanya. Nah, bila bibit tampak berenang, tidak berdiri, tanda bibit siap untuk dibenamkan di kolam. Dengan cara ini tingkat kematian hanya 1-2%. Padahal di peternak lain mortalitas bibit mencapai 10-15%. 'Menurut penyedia bibit, 10% kematian masih normal,' ujar Suparmo. Padahal bila minimal ditebar 40 kg bibit seharga Rp35.000/kg, misalnya, belum apa-apa peternak sudah menuai kerugian Rp140.000 (kematian 10%).

Menurut Ir Ign Hardaningsih MSi, staf pengajar Jurusan Perikanan Fakultas Pertanian UGM, bibit-bibit belut budidaya masih dari alam. 'Belum ada formulasi pas untuk membenihkan,' ujar kandidat doktor embriologi perkembangan itu. Namun, Ahmad Sarkan mengaku dapat 'membibitkan' meskipun terhitung alami. Ia menebar 1 ton induk belut alam di banyak kolam. Dari sana bibit-bibit itu muncul. 'Dengan cara ini saya dapat menyediakan 5 kuintal bibit per minggu,' kata Ahmad.

Sebagian besar peternak masih mengandalkan pakan alami yang tercipta dari media. Ini yang disinyalir membuat belut tumbuh lambat, bahkan mendorong kanibalisme. Menurut Nurani Sutjiatmaja pakan luar mutlak diberikan. 'Saya memberi cacing, ayam, yuyu, dan kodok untuk pakan,' ujar peternak yang mengelola 7 kolam rata-rata berukuran 5 m x 7 m di Cimahpar, Bogor, itu. Hal ini dirasakan membebani sebagian besar peternak.

'Harga cacing cukup mahal sekitar Rp50.000/kg,' ujar Warsim. Padahal bila benar-benar intensif seperti budidaya yang dilakukan Nurani, kebutuhan cacing selama budidaya 4 bulan mencapai 300 kg. 'Sekarang tinggal pilih mau belut cepat besar atau tidak,' kata pengusaha trading pupuk di Jakarta Selatan yang menggelontorkan biaya pakan hingga Rp7,2-juta/3 bulan budidaya. Pilihan lain seperti Ifan Gunawan dengan membudidayakan cacing Lumbricus tiger memakai media antara lain ampas tahu dan kotoran sapi. 'Biayanya jauh lebih murah,' katanya.

Pasar terbentang

Andaikan semua aral bisa diatasi peternak, pasar terbuka lebar. Contoh Komalasari. Sementara banyak perempuan jijik pada satwa mirip ular dan tinggal di lumpur itu, pengolah belut di Desa Pasirhalang, Sukaraja, Sukabumi, itu kelimpungan memenuhi kebutuhan hingga 6 ton/bulan; terpenuhi 2-3 ton. Padahal mitra pemasoknya meroket hingga 25 kelompok (250 anggota) pada 2009 dari sebelumnya 18 kelompok (100-an anggota) pada 2003.

Menurut Komalasari 90% kebutuhan belut terserap untuk olahan. Maklum pembina PKK setempat itu memproduksi 13 olahan belut seperti abon, dendeng, dan balado. Setiap kali mengolah ia memerlukan 100-200 kg/hari. Pengamatan Trubus di gerai pasar swalayan dan rumah makan menunjukkan indikasi minim pasokan. Tiga hipermarket besar di bilangan Margonda, Depok, Jawa Barat, seringkali kehabisan belut segar dan olahan filet seharga Rp55.000/kg hingga berhari-hari.

Di Malang, RM Belut Surabaya, misalnya, menyerap 25-30 kg belut/hari. Namun, akhir pekan saat kebutuhan melonjak 2 kali lipat, barang tidak tersedia. Pun di sentra olahan belut, Pasar Godean, Yogyakarta. 'Untuk mendapat 50 kg/minggu bahan susah. Apalagi musim kemarau, bisa dapat 10 kg/minggu sudah bagus,' kata Desi, pedagang. Padahal di Godean terdapat sekitar 10 pedagang dengan tingkat kebutuhan serupa.

Ahmad Sarkan pusing tujuh keliling melayani kebutuhan 10 bandar yang masing-masing meminta 5 kuintal/minggu. Padahal ia sudah menggaet mitra lewat Paguyuban Belut Nasional, beranggotakan sekitar 300 orang dengan 10% peternak aktif. Pun Juwahir, pengepul di Kepanjen, Malang, Jawa Timur, yang nyaris angkat tangan menangani permintaan 5 ton/minggu.

Dengan kondisi ini sebenarnya peternak sangat diuntungkan. Apalagi jika jeli menahan barang hingga memasuki musim kemarau, sekitar April-Agustus, saat pasokan belut alam menurun. Ketika itu harga belut tinggi. Jika musim hujan paling rendah Rp20.000/kg; kemarau Rp35.000-Rp40.000/kg.

Pasar ekspor tetap menggiurkan. Data lalulintas komoditas belut Pusat Karantina Ikan DKP menunjukkan volume ekspor nasional monopterus terus melambung. Pada kurun April-Desember 2007 tercatat 976 kg dan Januari-Desember 2008, 4.249 kg. Malaysia menjadi negara tujuan ekspor terbesar (80%) di luar Hongkong.

Menurut Sunarto permintaan ekspor dari Jepang dengan tingkat konsumsi di atas 5.000 ton/bulan mulai berdatangan. Musababnya China, salah satu sumber bahan baku unadon-makanan belut khas Jepang-tengah dirundung masalah akibat ditemukan residu pada ekspor belutnya. 'Mereka ke sini minta filet,' kata Sunarto yang tengah bernegosiasi.

Ia mematok harga 1.500 yen setara Rp120.000/kg filet. Volumenya? untuk periode Januari-Maret dan April-Agustus pembeli meminta masing-masing 4 ton dan 8 ton. Standar belut: panjang 30 cm dan ketebalan daging 8 mm.

Belut memang memberi impian besar. Beternak menjadi solusi keterbatasan pasokan belut alam. Itu yang dilakukan Warsim saat mantap mendulang rupiah dari beternak belut di halaman rumah. (Dian Adijaya S/Peliput: Karjono, Lastioro Anmi T, Tri Susanti, Faiz Yajri, dan Rosy Nur A)

Sumber : Trubus, Mei 2009