Minggu, 12 April 2009

BUDI DAYA IKAN PATIN SEBAGAI SOLUSI KRISIS GLOBAL

Subang, (PR).- Sektor perikanan khususnya budi daya ikan patin diharapkan menjadi tumpuan pemerintah dan masyarakat dalam menghadapi krisis ekonomi global. Sebab, hingga saat ini hanya ekspor ikan patin yang belum mendapat penolakan dari Amerika serikat maupun negara-negara Uni Eropa.

Artinya peluang untuk ekspor ikan patin ke negara tujuan itu masih sangat terbuka. Apalagi, konsumen di negara tersebut kini lebih menyukai ikan patin daripada udang atau ikan jenis lain, karena harganya lebih murah.

Demikian dikatakan Menteri Kelautan dan Perikanan Freddy Numberi, ketika melakukan panen perdana ikan patin di Loka Riset Pemuliaan dan Teknologi Budi Daya Perikanan Air Tawar (LRPT BPAT) di Desa Sukamandi, Kec. Ciasem, Kab. Subang, Senin (15/12).

Menurut dia, budi daya ikan patin ternyata mampu menjawab tantangan dunia dalam mengadapi krisis ekonomi global. Dalam hal ini petani Indonesia, masih bisa meningkatkan produksi patin untuk diekspor ke Amerika dan Uni Eropa terkait dengan masih terbukanya pangsa pasar ikan patin di negera-negara tersebut.

Menurut Freddy, kelebihan ikan patin adalah harganya yang lebih murah, sehingga diminati oleh konsumen luar negeri sebagai pengganti lobster dan jenis ikan lain yang harganya jauh lebih mahal. Di tengah impitan ekonomi yang mendera negara-negara itu, ikan patin kini malah mulai dilirik oleh mereka. "Hal ini cukup menggembirakan bagi kita," kata Freddy.

Dikatakan juga, Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP), pada tahun ini telah mengeluarkan subsidi bagi subsektor budi daya ikan sebesar Rp 33 miliar. Diharapkan nilai subsidi meningkat menjadi Rp 80 miliar pada tahun 2009 mendatang.

Subsidi pakan

Dalam kesempatan itu, Freddy mengakui jika biaya produksi paling tinggi dalam budi daya ikan adalah untuk penyediaan pakan. Hampir 80% biaya produksi habis hanya untuk membeli pakan ikan.

Oleh karena itu, pihaknya akan mengusulkan kepada Presiden dan Wakil Presiden agar pemerintah memberikan subsidi pakan untuk para petani ikan. Hal itu serupa dengan pemberian subsidi pupuk bagi petani tanaman. "Kami harap, penghapusan subsidi BBM bisa dialihkan untuk subsidi pakan ikan," kata Freddy.

Di tempat yang sama, General Manager (GM) Gabungan Pengusaha Makanan Ternak (GPMT) Divisi Pakan Ikan, Denny D. Idradjaja mengatakan, ekspor patin dari Indonesia sebenarnya tertinggal jauh dari Vietnam. Sebab, Vietnam saat ini mampu mengekspor patin sebanyak 390.000 ton/tahun. Sedangkan Indonesia baru mencapai angka 50.000 ton/tahun.

Di Vietnam, kata Denny, budi daya patin telah digarap secara serius dalam skala besar. Sedangkan di Indonesia, budi daya patin baru dilakukan pada beberapa tempat tertentu saja.

Menurut Denny, pemeliharaan patin, sebenarnya lebih mudah ketimbang ikan jenis lain. Pasalnya, ikan patin bisa memakan apa saja dan tidak terpaku pada satu jenis pakan.

Sementara itu, salah seorang staf LRPT BPAT Sukamandi, La Ode Abdurahman Wahid mengatakan, ikan patin yang dipanen pertama kali bobotnya mencapai 60 ton. Ikan patin tersebut dipelihara selama 10 bulan pada kolam seluas 0,6 hektare.

Pada panen perdana, menurut La Ode, diangkat ikan patin sebanyak 9,5 ton. Selebihnya ikan tersebut akan dipanen secara bertahap hingga beberapa pekan ke depan.

Dikatakan, patin tersebut akan dijual ke Jakarta dan Amerika dalam bentuk daging yang sudah di-bleeding. "Menurut informasi harga patin di pasar Amerika hanya 3,5 dolar AS hingga 4 dolar AS/kg. Sedangkan harga nila mencapai 5 dolar AS/kg," katanya. (A-106)***

Sumber: Harian Pikiran Rakyat, Selasa 16 Desember 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar