Rabu, 16 September 2009

Selangkah Patin Indonesia Maju, Seribu Langkah Vietnam Melaju


Bukan berita baru mendengar Indonesia berobsesi menggeser Vietnam sebagai produsen utama patin dunia. Dalam beberapa tahun belakangan, gaung tekad itu kerap mengemuka. Itu pula yang kembali ditegaskan Direktur Jenderal Perikanan Budidaya, DKP, Made L Nurdjana ketika berlangsung Forum Budidaya Patin medio Juli lalu di Riau.
?Patin merupakan komoditas perikanan yang mempunyai pangsa pasar sangat besar baik di dalam negeri maupun luar negeri,? kata Made pada acara yang bertema ?Pengembangan budidaya patin berbasis mutu dan keamanan pangan melalui penerapan CBIB dalam upaya pemenuhan kebutuhan pasar lokal dan peluang ekspor? tersebut. Indonesia, katanya, memiliki daerah-daerah yang sangat potensial untuk pengembangan patin. Dengan demikian produksinya bisa terus ditingkatkan dan diharapkan bisa memenuhi kebutuhan pasar baik lokal maupun ekspor.
Lebih jauh, Direktur Produksi Perikanan Budidaya, Iskandar Ismanadji pada kesempatan yang sama menyebutkan, produksi patin pada 2008 mencapai sekitar 52 ribu ton. Pertumbuhannya sekitar 35% per tahun. ?Angka itu masih bisa ditingkatkan karena potensi lahan budidaya patin masih sangat luas. Yakni berupa perairan umum (sungai, danau, waduk, rawa) serta perkolaman. Budidaya patin ini sangat memungkinkan untuk dikembangkan secara massal,? tegas Iskandar.
Setidaknya propaganda itu cukup berhasil menyulut semangat warga untuk membudidayakan ikan yang juga dikenal sebagai catfish tersebut. Budidaya patin pun mulai marak dikembangkan terutama di daerah-daerah yang kaya akan sungai. Bahkan di Kabupaten Kampar, Riau, pengembangan patin tak cukup sampai di budidaya saja, tapi juga akan dikembangkan sampai ke pengolahannya.
Sebuah perusahaan patungan yang melibatkan Pemprov Riau, Pemkab. Kampar dan PT Bonecom Budidaya Kampar perusahaan pengolahan ikan laut bersiap membangun pengolahan ikan patin untuk ekspor. Pencanangan dan pemancangan tiang pertama telah dilakukan tiga tahun lalu. Sekarang ini dalam tahap proses tender pembangunan gedung dan pabrik. Diharapkan pada September 2009 pembangunan sudah bisa dimulai dan pada Agustus 2010 perusahaan berbendera PT Kamparicom itu siap beroperasi.
Total investasi pembangunan pabrik itu mencapai Rp 170 miliar yang dibagi rata untuk masing-masing pihak. Dengan modal itu akan dibangun perkantoran, pabrik pengolahan ikan, perumahan karyawan, keramba, pabrik tepung ikan dan fasilitas lainnya di atas lahan 11,8 ha. Diperkirakan PT Kamparicom akan menyerap tenaga kerja sekitar 500 orang untuk di pabrik, belum termasuk tenaga adminstrasi dan lain-lain.
?Ketiga pihak telah berkomitmen terjun dalam usaha pengolahan ikan patin dalam bentuk fillet untuk tujuan ekspor,? kata Direktur Utama PT Kamparicom, Adhy Rahardi kepada TROBOS. Disamping fillet patin, mereka juga akan memproduksi fillet nila dengan persentase produksi 45% untuk patin dan 55% nila.
Untuk tahap awal, PT Kamparicom akan membangun pabrik pengolahan ikan berkapasitas 30 ton/hari, infrastruktur, energy center dan pabrik tepung ikan. Tahap ke dua membangun pabrik dengan kapasitas 80 ton/hari dan tahap ke tiga berkapasitas 180 ton/hari. ?Sebagai tahap awal, dari bahan baku 30 ton nantinya akan diproduksi 10 ton fillet patin setiap hari,? ujarnya. Berdirinya PT Kamparicom ini mendapat respon positif dari Made.

Belum Bisa Samai Vietnam
Tapi, geliat pengembangan patin di dalam negeri ini masih sangat jauh untuk bisa sekadar menyamai poduksi patin Vietnam. Produksi patin Vietnam pada 2008 sudah mencapai 1 juta ton. Tak aneh jika patin dari Negeri Paman Ho tersebut membanjiri pasar dunia, termasuk Indonesia. Hebatnya, Vietnam bisa menjual fillet patinnya dengan murah yaitu Rp 9.000 per kg. Bandingkan dengan produk serupa dari Indonesia yang harga jualnya mencapai Rp 17.000 per kg.
Budi Tangendjaja, pakar nutrisi yang konsultan ASA (American Soybean Association) menyatakan, harga patin Vietnam bisa begitu rendah karena produksi patin terintegrasi dengan sangat efisien di kawasan sepanjang Sungai Mekong. Ini memungkinkan karena mulai dari kolam budidaya, pabrik pakan sampai ke pabrik pengolahannya, semua berada di sekitar sungai itu. Semua tranportasi dan distribusi untuk keperluan budidaya menggunakan kapal tongkang dan melalui Mekong Delta. ?Dengan alam seperti itu siapa yang bisa bersaing dengan Vietnam?? tanya Budi yang kerap bolak-balik ke daerah tersebut.
Diakui Budi, produksi patin di Vietnam sekarang sedang bermasalah. Mulai timbul penyakit sebagai dampak pola budidaya yang intensif. Selain itu tingkat pertumbuhan produksinya juga mulai menurun. Sementara beberapa eksportir mulai merugi dan tak bisa melakukan ekspor akibat kian ketatnya peraturan dari pembeli. Budi memperkirakan akan terjadi konsolidasi di antara perusahaan-perusahaan tersebut. ?Ini merupakan cara agar tetap bertahan,? katanya.
Kendati demikian, tingkat fleksibilitas produk patin Vietnam masih besar, Budi menyebutkan, setiap hektar kolam di Vietnam mampu menghasilkan 400 ton patin. Dan dalam setahun bisa panen 2 kali (masing-masing 500 ribu ton). Maka untuk produksi 500 ? 600 ribu ton patin, cukup dipenuhi dari 1500 hektar kolam. Jika melihat sumber daya Sungai Mekong yang belum termanfaatkan, kapasitas produksi Vietnam masih sangat memungkinkan untuk diperbesar lagi. ?Mekong Delta itu cabang-cabangnya banyak, kalau tata ruang diperbaiki, produksi patin bisa ditingkatkan,? katanya.
Sementara, jumlah eksportir patin di sana sudah mencapai lebih dari 100 perusahaan dengan pasar mencapai puluhan negara yang tersebar di seluruh dunia. Tiap perusahaaan bisa mengekspor 5-6 kontainer per hari,? katanya Untuk perusahaan pakannya mencapai 200 perusahaan. Pengembangan patin di Vietnam juga didukung penuh oleh pemerintahnya. Mereka berkomitmen, pembangunan infrastruktur adalah tanggung jawab mereka.
Itulah mengapa patin Vietnam bisa lebih murah. Saat ini harga per kg ikan mentah patin masih sangat murah, sekitar Rp 6500 sampai Rp 7000 per kg. ?Dilihat dari biaya produksinya, sulit untuk berhadapan head to head (bersaing) dengan Vietnam untuk produksi patin,? kata Budi. Bahkan Budi berpendapat, sebaiknya mengganti patin dengan komoditas lain jika akan menyasar ekspor. ?Kalau mau ekspor jangan pilih patin, karena akan kalah bersaing dengan Vietnam,? ujarnya.

Miskin Inovasi
Dari kondisi terakhir, wajar jika pengusaha lebih memilih patin Vietnam daripada patin lokal. Tak cuma harga, kontinyuitas pasokan patin lokal juga dipermasalahkan. Bahkan ketika Zuhairi Noor Afzan pembudidaya patin dari Kalsel menyatakan siap memproduksi 50 ton/hari dalam beberapa bulan ini, hal tersebut belum membuat pemasok patin dalam negeri tertarik. Mereka masih meragukan spesifikasi keseragaman, kualitas daging dan kontinyuitas pasokan.
Dan dari penyelenggaraan Catfish Day 2009 di Jogjakarta beberapa waktu lalu tersimpulkan, pengembangan budidaya patin di Indonesia masih berorientasi pada produksi secara kuantitas. Juga sama sekali belum menyentuh masalah pengembangan produk, apalagi mengembangkan sisi nilai produk yang tak mudah diukur (intangible) seperti pencitraan produk dan strategi promosi. Inilah alasan patin Indonesia kalah bersaing dengan patin Vietnam.
Eksportir ikan berbendera PT Kelola Mina Laut yang berbasis di Jawa Timur, Muhammad Sholin berpendapat, perlu ada pengembangan produk patin Indonesia guna meningkatkan nilai tambahnya. Lagi-lagi Indonesia harus belajar dari Vietnam. Di sana, demi membangun produk dan citra patin dan segala produk turunannya, pemerintah rela menggelontorkan dana sangat besar untuk riset value dan pengembangan produk. ?Langkah itu kini ditiru Malaysia. Makanya, jangan sampai kita kalah berpacu dengan mereka yang teknologinya masih di bawah kita,? kata Sholin.

Sumber: Trobos

Tidak ada komentar:

Posting Komentar