Rabu, 16 September 2009

Industri Belut di Jepang



Masyarakat Jepang punya tradisi makan belut-belutan. Tak heran bila total konsumsinya mencapai 130 ribu ton per tahun.

Untuk memenuhi kebutuhan bahan baku unagi, begitu nama menu populer berbahan baku belut-belutan, Jepang mengimpor sekitar 70% dari China, sisanya dari Taiwan, Korea, dan Eropa. Pasalnya, produksi dalam negeri hanya sanggup menyediakan 20%. Pasar Jepang terutama membutuhkan sidat (eel) jenis Anguilla japonica.

Dalam rangka mengetahui peluang ekspor belut Indonesia, awal tahun ini KBRI Tokyo, Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), dan Working Group for Technology Transfer (WGTT) mengunjungi empat industri pengolahan belut Jepang (sidat) di Kota Hamatsu, Prefektur Shizuoka, Jepang, yaitu Daiwa Eel Co. Ltd, Unagi no Gotoh Corp. (keduanya mengolah secara tradisional) serta Koperasi Unagi Yougyou dan Shunkado Co. Ltd. (keduanya mengolah secara modern). Dodik Kurniawan, General Manager WGTT beserta tiga rekannya melaporkan kondisi industri tersebut untuk Anda.


Daiwa Eel

Perusahaan ini membesarkan belut dalam rumah kaca dengan air yang suhunya terkontrol 30oC dan menggunakan kincir. Budidaya berlangsung selama 6—12 bulan. Sebelum diolah, belut dipuasakan 7 hari untuk membersihkan isi perut dan menghilangkan rasa amisnya dengan mengalirinya terus menerus.

Pengolahan dilakukan dengan membelah sidat menjadi dua bagian, mengambil duri, dan memotong kepala. Setelah dicuci dan dibakar dua kali, belut diberi saus manis keistimewaan unagi kabayaki. Perusahaan yang mengolah 20.000 per hari ini memasarkan produk unagi kabayakinya ke pasar swalayan.

Sumber: AGRINA, September 2009.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar