Minggu, 10 Mei 2009

Akuakultur China Meraja, Indonesia Keteter

Produksi gemilang akuakultur China dimulai pada start yang sama dengan Indonesia pada 1949, di angka 20 ribu ton/tahun

China benar-benar membuktikan ramalan banyak pakar yang menyebutkannya bakal menjadi kekuatan besar di dunia. Paling tidak, ini terlihat jelas di sektor perikanan.
Negeri Panda tersebut secara menakjubkan berhasil meningkatkan produksi perikanan budidaya hingga menjadi yang terbesar di dunia, mencapai lebih dari 40 juta ton per tahun. China sadar betul, ke depan, masyarakat dunia akan kian membutuhkan pasokan produk perikanan. Apalagi dengan adanya tren untuk lebih memilih mengkonsumsi produk hewani berdaging putih (white meat) daripada daging merah (red meat). Maka, produksi perikanan budidaya harus digenjot. Sebab perikanan tangkap sudah tak mungkin lagi diharapkan setelah terus menerus dieksploitasi sumberdayanya. Dengan kata lain, perikanan budidaya adalah kunci memenangi persaingan dunia yang kian ganas.
Lebih dari itu, China juga berkepentingan untuk mencukupi sendiri kebutuhan ikan bagi satu setengah miliar warganya. Itulah mengapa China habis-habisan mengembangkan industri perikanannya. Satu bukti keseriusan China mengembangkan perikanan mereka adalah dengan membangun pasar ikan terbesar di dunia dengan luasan tak kurang dari 40 hektar. Diperkirakan, pasar ikan yang kini sedang dibangun di Shanghai tersebut nilai transaksinya akan melampaui transaksi Pasar Tsukiji Hideji Otsuki—pasar induk ikan terbesar di dunia saat ini—di Tokyo Jepang. Perputaran uang untuk ikan di Pasar Tsukiji yang sudah ada sejak zaman Edo (sekitar 400 tahun lalu) tersebut sekitar 300 juta yen per hari (sekitar Rp 27,6 miliar).
Hebatnya lagi, produksi yang gemilang atas perikanan budidaya China ini dimulai pada start yang sama dengan Indonesia, yakni berada pada angka produksi 20 ribu ton per tahun pada 1949. Sayangnya beberapa dasawarsa setelah itu, produksi perikanan budidaya China melesat meninggalkan Indonesia. Kendati dari sisi potensi wilayah, Indonesia lebih unggul dibandingkan Negeri Tirai Bambu itu (lihat tabel). Diperkirakan, produksi perikanan China masih akan terus meningkat dalam beberapa tahun ke depan. Bahkan akan bisa melampaui produksi babi yang selama dua dasawarsa terakhir menjadi sumber utama protein hewani di sana.
Sementara Indonesia yang meskipun menurut data FAO 2007 masih bertengger di posisi ke tiga sebagai produsen akuakultur dunia, namun angka produksinya sangat jauh dari China. Hanya 3 juta ton, sangat tidak sepadan dengan potensi akuakultur bumi nusantara yang sangat besar. Padahal seperti China, Indonesia termasuk negara dengan populasi penduduk yang besar. Siswono Yudo Husodo, Dewan Penasehat HKTI (Himpunan Kerukunan Tani Indonesia) dalam satu kesempatan di Jakarta menyebutkan, dalam waktu 40 tahun, penduduk Indonesia akan menjadi 2 kali lipat. Jika tahun 2000 jumlah penduduk Indonesia mencapai 200 juta jiwa, maka pada 2040, populasinya akan menjadi 400 juta jiwa.
”Ini akan menjadi pasar raksasa,” kata Siswono mengingatkan. Jika akuakultur dipastikan akan mendominasi konsumsi pangan hewani di masa depan, maka Indonesia setidaknya harus bisa mencukupi sendiri kebutuhan produk tersebut bagi warganya. Jika tidak, Indonesia hanya akan menjadi bulan-bulanan produk akuakultur dari negara lain.

Permintaan Pakan Meningkat
Peran penting akuakultur memang kian tak terbantahkan. Karena itulah beberapa negara ramai-ramai meniru langkah China, terutama negara-negara di Asia Pasifik seperti India, Vietnam, Thailand dan tentu saja Indonesia. Mereka mengekor China dan bersaing ketat sebagai produsen akuakultur utama dunia.
Adanya perlombaan produksi perikanan budidaya menurut Budi Tangendjaya –peneliti dan konsultan pakan ternak dan ikan— bisa ditengarai dari meningkatnya konsumsi perikanan dunia terutama di Amerika Serikat dan di Uni Eropa (UE). Walau demikian, harga komoditas tersebut justru turun. Artinya telah terjadi peningkatan volume produksi perikanan budidaya di dunia. Sebab, produksi perikanan tangkap cenderung stagnan dalam beberapa tahun terakhir.
Kian berpacunya banyak negara dalam menghasilkan ikan-ikan budidaya juga terlihat dari permintaan pakan (pellet) ikan dan udang yang cenderung meningkat. Budi mengatakan, permintaan pakan ikan dan udang ini akan terus naik karena budidaya ikan secara tradisional yang menggunakan pakan alami seperti ikan rucah sudah mulai ditinggalkan dan beralih menggunakan pakan buatan. Di China misalnya, kata Budi, produksi akuakultur meningkat karena penerapan teknologi budidaya intensif yang tidak mengandalkan pakan alam melainkan dari pabrik.
Secara terpisah, Ketua Divisi Ikan Asosiasi Produsen Pakan Indonesia (GPMT), Denny Indradjaja menyebutkan, permintaan pakan ikan dan udang di seluruh dunia terus naik. Di Indonesia saja terjadi peningkatan sebesar 5%. Sementara, kenaikan permintaan pakan terbesar terjadi di Vietnam, yakni mencapai 10%. ”Semua pabrikan pakan ikan/udang di dunia saat ini mempunyai pabrik di Vietnam,” Denny menjelaskan.
Denny menyebutkan, untuk ikan patin saja Vietnam membutuhkan 1,5 juta sampai 2 juta ton pakan ikan per tahun. Sedangkan di Indonesia, total pemanfaatan pakan ikan dan udang setiap tahunnya hanya sekitar 800 – 900 ribu ton. Secara umum, serapan pakan ikan/udang di tanah air hanya 30% dari serapan pakan ikan/udang Vietnam dan 10 – 15% dari serapan pakan ikan/udang di Thailand.
Padahal menurut Denny, penggunaan pakan buatan ini sangat penting dalam mendukung kegiatan akuakultur. Pellet bisa mempercepat masa budidaya hingga 2 kali lipat. Penggunaan pakan formula ini di negara-negara kompetitor di atas sudah mencapai 80%. Sedangkan di Indonesia baru sekitar 60%.
Di sisi lain, Vietnam juga sangat cerdik memanfaatkan bahan-bahan lokal sebagai bahan baku pakan, yakni mencapai 70%. Misalnya, menurut Budi, Vietnam tidak lagi menggunakan tepung ikan yang mahal sebagai sumber protein bagi pakan ikan patin. Hal itu memungkinkan karena patin tidak membutuhkan protein yang tinggi, cukup 22% bukan 32%. Sebagai sumbernya, mereka menggunakan bungil kedelai, MBM (meat bone meal/tepung tulang dan daging) dan PMM (poultry meat meal/tepung daging unggas) yang jauh lebih murah daripada tepung ikan. Sementara di Indonesia, kandungan bahan lokal pada pakan ikan/udang menurut Denny baru sekitar 30%. Sehingga biaya pakan ikan/udang di Vietnam lebih murah daripada di Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar