Minggu, 10 Mei 2009

Peluang Budidaya Kepiting Soka Menganga

Permintaanya terus meningkat dan usaha budidayanya belum berkembang. Sayang masih terkendala bibit

Cara lama menyantap kepiting telah berakhir. Anda tak perlu berjuang mengkorek-korek cangkangnya demi mengeluarkan dagingnya. Alih-alih, cangkang tersebut bisa dimakan.
Kepiting inilah yang kerap disebut sebagai kepiting soka/lunak (soft shell). Semua bagian tubuh kepiting tersebut bisa dimakan, termasuk cangkangnya yang keras. Fakta itu tak ayal membuat popularitas kepiting soka naik.
Permintaannya terus melonjak meski harganya cukup tinggi. Harga per kilonya bisa mencapai sekitar Rp 60 ribu. Namun, hidangan ini belum banyak tersedia di restoran-restoran penyaji makanan akuatik.
Pasokan kepiting soka masih rendah karena usaha budidayanya belum berkembang. Alasannya terkendala oleh bibit yang selama ini hanya mengandalkan tangkapan alam. Kendati demikian, usaha budidaya kepiting soka tetap menyimpan peluang besar. Apalagi dengan kian bertambahnya penggemar Mr. crab dari hari ke hari.

Produk Rekayasa Budidaya
Lepas dari masalah bibit, budidaya kepiting soka telah mulai dikembangkan di beberapa daerah di pesisir tanah air. Salah satunya di Sidoarjo Jawa Timur. Adalah para tenaga pengajar budidaya di Akademi Perikanan Sidoarjo (APS) yang mulai mengembangkan teknik budidayanya.
Kepiting ini pada dasarnya merupakan produk rekayasa budidaya yang menghasilkan kepiting dengan kulit (cangkang/karapas) yang lunak. Menurut Ketua Jurusan Budidaya APS, Moh. Zainal Arifin, intinya adalah memanen kepiting yang dipelihara saat ganti kulit (molting).
Jenis kepiting yang dibesarkan yaitu kepiting bakau. Kata Zainal, setidaknya ada 3 jenis kepiting bakau yang punya nilai ekonomis tinggi antara lain Scylla serrata, Scylla oceanica, dan Scylla transquebarica.
Dari ketiga jenis kepiting tersebut, Scylla serrata pada umur yang sama umumnya berukuran lebih kecil dibandingkan kedua jenis lainnya. Namun dari segi harga dan permintaan, jenis Scylla serrata terbukti lebih unggul.
Lebih lanjut ia menjelaskan, percobaan teknik budidaya kepiting soka yang diterapkan di lahan praktek budidaya milik AP seluas 17,5 hektare menggunakan sistem keramba apung. “Kita buat seperti keranjang apung dengan membuat kotakan-kotakan kecil untuk menaruh kepiting atau biasa disebut kolam baterai,” kata Zainal kepada TROBOS beberapa waktu lalu di Sidoarjo.
Masing-masing keramba, lanjutnya, digantungkan pada jalur tali tambang yang dibuat memanjang sesuai dengan ukuran tambak. Posisi keramba sejajar dengan permukaan air. Kedalaman air tambak yang ideal sekitar 1 meter. Keramba dibuat dari bambu yang diikat dengan tali tambang dengan sekatan menggunakan jaring
Ukuran keranjang adalah panjang 1 meter dan lebar 50 cm, dengan kedalaman 15 cm. Satu keramba disekat menjadi 18 petak dengan masing-masing petak berukuran panjang, lebar dan dalam 15 cm. Satu petakan muat untuk memelihara seekor kepiting dengan kedalaman air 10 cm. Pola pemeliharaan sistem sekatan ini cukup efektif, mengingat kepiting punya sifat kanibalisme yang cukup tinggi.
Dengan ukuran tambak milik APS yang digunakan seluas 4 ribu meter persegi, bisa dibuat sekitar 750 keramba. Artinya, dengan tambak seluas itu bisa memelihara tidak kurang dari 13 ribu ekor kepiting. Biaya membuat satu keramba sekitar Rp 100 ribu. Rata-rata kepiting yang dipelihara berukuran 100 gram per ekor atau 1 kg isi 10 sampai 12 ekor.
Bibit kepiting dibeli dari nelayan dengan harga sekitar Rp 15 ribu per kg. Sebelum mulai dipelihara dalam keramba, terlebih dahulu dilakukan pemotongan bagian tubuh kepiting yaitu dengan melepas sepasang capit dan 3 pasang kaki jalan. “Rekayasa tersebut dilakukan untuk merangsang terjadinya proses molting,” jelas Zainal.

Sumber : Trobos, Mei 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar