Kamis, 17 September 2009
Rabu, 16 September 2009
Industri Belut di Jepang
Masyarakat Jepang punya tradisi makan belut-belutan. Tak heran bila total konsumsinya mencapai 130 ribu ton per tahun.
Untuk memenuhi kebutuhan bahan baku unagi, begitu nama menu populer berbahan baku belut-belutan, Jepang mengimpor sekitar 70% dari China, sisanya dari Taiwan, Korea, dan Eropa. Pasalnya, produksi dalam negeri hanya sanggup menyediakan 20%. Pasar Jepang terutama membutuhkan sidat (eel) jenis Anguilla japonica.
Dalam rangka mengetahui peluang ekspor belut Indonesia, awal tahun ini KBRI Tokyo, Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), dan Working Group for Technology Transfer (WGTT) mengunjungi empat industri pengolahan belut Jepang (sidat) di Kota Hamatsu, Prefektur Shizuoka, Jepang, yaitu Daiwa Eel Co. Ltd, Unagi no Gotoh Corp. (keduanya mengolah secara tradisional) serta Koperasi Unagi Yougyou dan Shunkado Co. Ltd. (keduanya mengolah secara modern). Dodik Kurniawan, General Manager WGTT beserta tiga rekannya melaporkan kondisi industri tersebut untuk Anda.
Daiwa Eel
Perusahaan ini membesarkan belut dalam rumah kaca dengan air yang suhunya terkontrol 30oC dan menggunakan kincir. Budidaya berlangsung selama 6—12 bulan. Sebelum diolah, belut dipuasakan 7 hari untuk membersihkan isi perut dan menghilangkan rasa amisnya dengan mengalirinya terus menerus.
Pengolahan dilakukan dengan membelah sidat menjadi dua bagian, mengambil duri, dan memotong kepala. Setelah dicuci dan dibakar dua kali, belut diberi saus manis keistimewaan unagi kabayaki. Perusahaan yang mengolah 20.000 per hari ini memasarkan produk unagi kabayakinya ke pasar swalayan.
Mereka Kepincut Belut
Tua, muda, laki-laki, perempuan, banyak yang terjun ke bisnis belut. Alasannya sangat masuk asal, permintaan pasarnya nggak jenuh-jenuh. Jangankan bisa menutupi kebutuhan pasar ekspor, memenuhi keperluan dalam negeri saja tak pernah luber. Karena itu pula Komalasari dan Lenny Huang tetap konsisten mengurut-urut laba sang belut.
Hj. Komalasari, 250 Kg Sehari
Komalasari, wanita paruh baya dari Sukaraja, Sukabumi, memang identik dengan belut. Cobalah menelusuri Cianjur sampai Sukabumi. Di sana mudah kita temukan oleh-oleh olahan belut beragam merek “berbau” Komalasari. Namun, Komalasari yang serius menggarap bisnis belut sejak 1980 justru menempelkan label “Flamboyan” pada produk belut olahannya.
Di tangan wanita yang satu ini, belut diutak-atik menjadi 14 jenis makanan. Mulai dari keripik, dendeng manis, balado, abon, hingga jamu berkhasiat. Setiap hari ia mengolah 100 kg belut segar. Plus 100 kg lagi yang khusus dijual segar. Di luar itu, ia juga menjual benih belut rata-rata 50 kg per hari.
Komalasari menjual hasil olahan belut dengan harga beragam, mulai dari Rp10.000 per bungkus sampai Rp140 ribu per kg. Sedangkan belut segar ia jual rata-rata Rp25.000 per kg. Khusus benih belut, harganya dipatok Rp40.000 per kg.
Selain dilempar ke pasar lokal, aneka produk olahan belut made in Bu Haji ini diekspor, misalnya ke Arab Saudi. Menurut dia, pesanan tersebut berasal dari permintaan TKI yang bermukim di sana. “Seminggu saya kirim 100 kg lewat kargo saja,” tandasnya.
Sumber : AGRINA ,September 2009.
Pembesaran Selicin Kulitnya
Bahan media, kondisi benih, dan ekosistem lingkungan menjadi catatan khusus dalam budidaya belut.
Sekilas pembesaran belut terlihat begitu sederhana dan mudah. Namun kenyataannya tidak demikian. Banyak kasus pengusaha gagal dan rugi besar dalam membudidayakannya. Selain metode pembesaran beranekaragam, ternyata usaha ini memerlukan ketelatenan dan kesabaran. Lalu kiranya hal apa saja yang krusial dan menjadi perhatian khusus dalam usaha pembesaran?
Pilih Kolam
Langkah awal adalah pemilihan tempat pembesaran. Kebanyakan pembudidaya memilih membangun kolam sebagai sarana pembesaran. Jenis kolam pun beraneka ragam. Ada yang dibuat permanen dengan dinding plester, bambu, ada pula yang hanya beralaskan terpal, plastik atau jaring. “Bentuk kolam di tempat saya macam–macam. Ada bak permanen, ada terpal dan plastik. Pokoknya semua saya coba,“ ungkap Agung Herawan, pengusaha belut yang farm-nya bernama 11-12 di Linggajati, Indramayu.
Metode lain menggunakan drum sebagai tempat budidaya, seperti yang selalu digemborkan Ruslan Roy dalam setiap seminarnya. Menurut pengusaha sekaligus eksportir belut ini, drum sangat cocok bagi pebisnis yang baru memulai usaha pembesaran. Selain biaya murah, risiko kegagalan pun dapat ditekan. “Saya berikan motivasi ke masayarakat dengan kondisi seadanya. Ini sesuai dengan keadaan masyarakat kita, sebab dengan investasi besar kita harus siap menghadapi risiko,“ jelas pemain yang sudah terjun di bisnis belut sejak 1987 ini.
Sumber: AGRINA , September 2009.
Belut Masih Andalkan Tangkapan Alam
Masih Andalkan Tangkapan Alam
Peluang membudidayakan belut masih terbuka, sayangnya peminat tersandung pasokan benih yang hasil tangkapan.
Benih berperan penting dalam kesuksesan budidaya belut. Namun sampai sekarang, pembibitan belut yang memenuhi standar seperti ikan komersial lainnya belum ada. Pun Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Tawar, Sukabumi, seperti diungkap Ade Sunarma, peneliti di sana, belum dapat menyediakan benih belut. Jadi, benih belut sebar benih berkualitas baik belum bisa didapat.
Berebutan
Hal tersebut dibenarkan beberapa petani belut di Indramayu, Kuningan, Sukabumi, dan Bandung, semua di Jabar. Mereka mengakui, belum ada standar baku untuk benih tebar dan terpaksa memanfaatkan tangkapan alam serta hasil seleksi budidaya dari siklus sebelumnya.
Syaiful Hanif, dari Indramayu misalnya, mengatakan, “Benih tangkapan ini ukurannya tidak seragam, ada yang besar, ada yang kecil dan perlu dilakukan sortir lagi.” Padahal ia sendiri membutuhkan sekitar 600 kg benih untuk memasok 20 kolamnya. Belum lagi mitranya yang berjumlah 40 anggota memerlukan pasokan sekitar 2.400—3.600 kg benih dengan ukuran 100 ekor per kg.
Masih di Indramayu, Agung Herawan, pembudidaya di Desa Linggajati, Kecamatan Arahan, butuh sekitar 500 kg benih dengan ukuran 60 ekor per kg untuk memasok 5 kolamnya yang berukuran 10 m x 10 m. Kebutuhan benih Agung ini belum termasuk 12 orang mitranya yang rata-rata memiliki dua sampai tiga kolam per orang.
Karena itu, selain menghasilkan benih sendiri dari kolam miliknya, Agung juga mendatangkan dari Jateng dan Jabar (Kuningan, Sumedang dan Subang). Benih tersebut dijual ke mitranya dengan harga Rp40.000 per kg.
Menurut Hj. Komalasari, pembudidaya dan pelaku usaha pangan olahan belut di Sukabumi mengatakan, susah memperoleh belut sebagai bahan baku pangan olahan. Ia pun bermitra dengan petani, tapi sang petani juga kesulitan memperoleh benihnya. Tak urung Komalasari pun membudidayakan sendiri benih sebar untuk mitranya itu.
Sumber: AGRINA, September 2009.
Ayo, Merajut Bisnis Belut
Saban tahun, permintaan dari pembeli luar negeri maupun lokal terus naik. Harganya pun terus terdongkrak.
Dalam tiga tahun terakhir, keberadaan belut di Tanah Air mulai banyak diperhatikan. Betapa tidak, makhluk licin berlendir itu sangat diminati konsumen luar negeri. Terutama konsumen oriental seperti Jepang, Hongkong, Korea Selatan, China, dan Taiwan.
Menurut Saut P. Hutagalung, Direktur Pemasaran Luar Negeri, Ditjen P2HP, Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP), permintaan keluarga belut dunia sekitar 230 ribu ton setahun. Pasar terbesarnya adalah Jepang yang butuh pasokan 130 ribu ton per tahun.
Belut (termasuk sidat) sangat digemari oleh konsumen luar negeri lantaran rasanya yang gurih dan penuh gizi. “Belut itu punya beberapa kelebihan dibandingkan produk lain,” ungkap Saut. Dibandingkan daging sapi, telur, dan rata-rata ikan, lanjut dia, kandungan energi belut lebih tinggi. Misalnya, per 100 gr telur dan daging sapi masing-masing mengandung 162 kilokalori (kkal) serta 210 kkal. Sedangkan belut mencapai 300 kkal lebih per 100 gr.
Kelebihan lainnya tampak dari kandungan proteinnya. Dibandingkan daging sapi hampir sama, yakni 18,5 gr protein per 100 gr daging. “Tapi kalau dibandingkan dengan telur, yang banyak dikonsumsi di mana-mana, belut lebih tinggi 30%,” tandas Saut.
Satu kelebihan lain belut adalah nilai cerna daging yang relatif tinggi dibandingkan daging merah. Oleh sebab itu daging belut mudah dicerna sehingga baik diberikan kepada anak-anak yang pencernaannya belum sempurna dan orang tua fungsi pencernaannya sudah mulai menurun.
Sumber: AGRINA, September 2009
Selangkah Patin Indonesia Maju, Seribu Langkah Vietnam Melaju
Bukan berita baru mendengar Indonesia berobsesi menggeser Vietnam sebagai produsen utama patin dunia. Dalam beberapa tahun belakangan, gaung tekad itu kerap mengemuka. Itu pula yang kembali ditegaskan Direktur Jenderal Perikanan Budidaya, DKP, Made L Nurdjana ketika berlangsung Forum Budidaya Patin medio Juli lalu di Riau.
?Patin merupakan komoditas perikanan yang mempunyai pangsa pasar sangat besar baik di dalam negeri maupun luar negeri,? kata Made pada acara yang bertema ?Pengembangan budidaya patin berbasis mutu dan keamanan pangan melalui penerapan CBIB dalam upaya pemenuhan kebutuhan pasar lokal dan peluang ekspor? tersebut. Indonesia, katanya, memiliki daerah-daerah yang sangat potensial untuk pengembangan patin. Dengan demikian produksinya bisa terus ditingkatkan dan diharapkan bisa memenuhi kebutuhan pasar baik lokal maupun ekspor.
Lebih jauh, Direktur Produksi Perikanan Budidaya, Iskandar Ismanadji pada kesempatan yang sama menyebutkan, produksi patin pada 2008 mencapai sekitar 52 ribu ton. Pertumbuhannya sekitar 35% per tahun. ?Angka itu masih bisa ditingkatkan karena potensi lahan budidaya patin masih sangat luas. Yakni berupa perairan umum (sungai, danau, waduk, rawa) serta perkolaman. Budidaya patin ini sangat memungkinkan untuk dikembangkan secara massal,? tegas Iskandar.
Setidaknya propaganda itu cukup berhasil menyulut semangat warga untuk membudidayakan ikan yang juga dikenal sebagai catfish tersebut. Budidaya patin pun mulai marak dikembangkan terutama di daerah-daerah yang kaya akan sungai. Bahkan di Kabupaten Kampar, Riau, pengembangan patin tak cukup sampai di budidaya saja, tapi juga akan dikembangkan sampai ke pengolahannya.
Sebuah perusahaan patungan yang melibatkan Pemprov Riau, Pemkab. Kampar dan PT Bonecom Budidaya Kampar perusahaan pengolahan ikan laut bersiap membangun pengolahan ikan patin untuk ekspor. Pencanangan dan pemancangan tiang pertama telah dilakukan tiga tahun lalu. Sekarang ini dalam tahap proses tender pembangunan gedung dan pabrik. Diharapkan pada September 2009 pembangunan sudah bisa dimulai dan pada Agustus 2010 perusahaan berbendera PT Kamparicom itu siap beroperasi.
Total investasi pembangunan pabrik itu mencapai Rp 170 miliar yang dibagi rata untuk masing-masing pihak. Dengan modal itu akan dibangun perkantoran, pabrik pengolahan ikan, perumahan karyawan, keramba, pabrik tepung ikan dan fasilitas lainnya di atas lahan 11,8 ha. Diperkirakan PT Kamparicom akan menyerap tenaga kerja sekitar 500 orang untuk di pabrik, belum termasuk tenaga adminstrasi dan lain-lain.
?Ketiga pihak telah berkomitmen terjun dalam usaha pengolahan ikan patin dalam bentuk fillet untuk tujuan ekspor,? kata Direktur Utama PT Kamparicom, Adhy Rahardi kepada TROBOS. Disamping fillet patin, mereka juga akan memproduksi fillet nila dengan persentase produksi 45% untuk patin dan 55% nila.
Untuk tahap awal, PT Kamparicom akan membangun pabrik pengolahan ikan berkapasitas 30 ton/hari, infrastruktur, energy center dan pabrik tepung ikan. Tahap ke dua membangun pabrik dengan kapasitas 80 ton/hari dan tahap ke tiga berkapasitas 180 ton/hari. ?Sebagai tahap awal, dari bahan baku 30 ton nantinya akan diproduksi 10 ton fillet patin setiap hari,? ujarnya. Berdirinya PT Kamparicom ini mendapat respon positif dari Made.
Belum Bisa Samai Vietnam
Tapi, geliat pengembangan patin di dalam negeri ini masih sangat jauh untuk bisa sekadar menyamai poduksi patin Vietnam. Produksi patin Vietnam pada 2008 sudah mencapai 1 juta ton. Tak aneh jika patin dari Negeri Paman Ho tersebut membanjiri pasar dunia, termasuk Indonesia. Hebatnya, Vietnam bisa menjual fillet patinnya dengan murah yaitu Rp 9.000 per kg. Bandingkan dengan produk serupa dari Indonesia yang harga jualnya mencapai Rp 17.000 per kg.
Budi Tangendjaja, pakar nutrisi yang konsultan ASA (American Soybean Association) menyatakan, harga patin Vietnam bisa begitu rendah karena produksi patin terintegrasi dengan sangat efisien di kawasan sepanjang Sungai Mekong. Ini memungkinkan karena mulai dari kolam budidaya, pabrik pakan sampai ke pabrik pengolahannya, semua berada di sekitar sungai itu. Semua tranportasi dan distribusi untuk keperluan budidaya menggunakan kapal tongkang dan melalui Mekong Delta. ?Dengan alam seperti itu siapa yang bisa bersaing dengan Vietnam?? tanya Budi yang kerap bolak-balik ke daerah tersebut.
Diakui Budi, produksi patin di Vietnam sekarang sedang bermasalah. Mulai timbul penyakit sebagai dampak pola budidaya yang intensif. Selain itu tingkat pertumbuhan produksinya juga mulai menurun. Sementara beberapa eksportir mulai merugi dan tak bisa melakukan ekspor akibat kian ketatnya peraturan dari pembeli. Budi memperkirakan akan terjadi konsolidasi di antara perusahaan-perusahaan tersebut. ?Ini merupakan cara agar tetap bertahan,? katanya.
Kendati demikian, tingkat fleksibilitas produk patin Vietnam masih besar, Budi menyebutkan, setiap hektar kolam di Vietnam mampu menghasilkan 400 ton patin. Dan dalam setahun bisa panen 2 kali (masing-masing 500 ribu ton). Maka untuk produksi 500 ? 600 ribu ton patin, cukup dipenuhi dari 1500 hektar kolam. Jika melihat sumber daya Sungai Mekong yang belum termanfaatkan, kapasitas produksi Vietnam masih sangat memungkinkan untuk diperbesar lagi. ?Mekong Delta itu cabang-cabangnya banyak, kalau tata ruang diperbaiki, produksi patin bisa ditingkatkan,? katanya.
Sementara, jumlah eksportir patin di sana sudah mencapai lebih dari 100 perusahaan dengan pasar mencapai puluhan negara yang tersebar di seluruh dunia. Tiap perusahaaan bisa mengekspor 5-6 kontainer per hari,? katanya Untuk perusahaan pakannya mencapai 200 perusahaan. Pengembangan patin di Vietnam juga didukung penuh oleh pemerintahnya. Mereka berkomitmen, pembangunan infrastruktur adalah tanggung jawab mereka.
Itulah mengapa patin Vietnam bisa lebih murah. Saat ini harga per kg ikan mentah patin masih sangat murah, sekitar Rp 6500 sampai Rp 7000 per kg. ?Dilihat dari biaya produksinya, sulit untuk berhadapan head to head (bersaing) dengan Vietnam untuk produksi patin,? kata Budi. Bahkan Budi berpendapat, sebaiknya mengganti patin dengan komoditas lain jika akan menyasar ekspor. ?Kalau mau ekspor jangan pilih patin, karena akan kalah bersaing dengan Vietnam,? ujarnya.
Miskin Inovasi
Dari kondisi terakhir, wajar jika pengusaha lebih memilih patin Vietnam daripada patin lokal. Tak cuma harga, kontinyuitas pasokan patin lokal juga dipermasalahkan. Bahkan ketika Zuhairi Noor Afzan pembudidaya patin dari Kalsel menyatakan siap memproduksi 50 ton/hari dalam beberapa bulan ini, hal tersebut belum membuat pemasok patin dalam negeri tertarik. Mereka masih meragukan spesifikasi keseragaman, kualitas daging dan kontinyuitas pasokan.
Dan dari penyelenggaraan Catfish Day 2009 di Jogjakarta beberapa waktu lalu tersimpulkan, pengembangan budidaya patin di Indonesia masih berorientasi pada produksi secara kuantitas. Juga sama sekali belum menyentuh masalah pengembangan produk, apalagi mengembangkan sisi nilai produk yang tak mudah diukur (intangible) seperti pencitraan produk dan strategi promosi. Inilah alasan patin Indonesia kalah bersaing dengan patin Vietnam.
Eksportir ikan berbendera PT Kelola Mina Laut yang berbasis di Jawa Timur, Muhammad Sholin berpendapat, perlu ada pengembangan produk patin Indonesia guna meningkatkan nilai tambahnya. Lagi-lagi Indonesia harus belajar dari Vietnam. Di sana, demi membangun produk dan citra patin dan segala produk turunannya, pemerintah rela menggelontorkan dana sangat besar untuk riset value dan pengembangan produk. ?Langkah itu kini ditiru Malaysia. Makanya, jangan sampai kita kalah berpacu dengan mereka yang teknologinya masih di bawah kita,? kata Sholin.
Sumber: Trobos