Kamis, 17 September 2009

Selamat Gurami di Atas Terpal


INI KEJADIAN 3 TAHUN LALU. GARA-GARA SULIT MENGONTROL FLUKTUASI SUHU KOLAM, H RADI MENUAI RUGI HINGGA RP45-JUTA. SEKITAR 300.000 BIBIT GURAMI UMUR 12 HARI YANG DITEBAR PETERNAK ASAL DESA CAMPAKA, PARUNG, BOGOR, JAWA BARAT, DI KOLAM BETON ITU SELURUHNYA MEREGANG NYAWA DALAM TEMPO 2 HARI. BI BIT SEHARGA RP150 PER EKOR ITU TAK KUAT HIDUP KETIKA TEMPERATUR AIR BERUBAH DINGIN DI MALAM HARI.

Radi hanya peternak tradisional yang cukup mengukur suhu air dengan jari tangan. 'Kalau siang airnya hangat, malam menjadi dingin,' katanya. Meski begitu Radi tahu persis kalau fluktuasi suhu yang tajam antara siang dan malam berarti bencana bagi pembenih seperti dia.

Menurut Dr Hardaningsih MSc, peneliti dari Jurusan Perikanan Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta, idealnya suhu untuk pembesaran bibit gurami adalah 28-30oC. 'Di luar kisaran itu bibit gampang stres dan mati,' ujarnya. Pada kasus Radi, Hardaningsih menduga suhu air di kolam sekitar 25oC. 'Pada suhu itu tangan yang dimasukkan ke air bisa langsung merasakan dingin,' tambahnya.

Pil pahit yang dirasakan Radi berubah setelah belakangan memakai terpal di kolam untuk meminimalisir fluktuasi suhu. Sejak setahun lalu tingkat kelulusan hidup pembibitan gurami sampai ukuran kotak korek api-sekitar 2 bulan pemeliharaan-mencapai 99%. 'Dengan terpal saya bisa memperoleh 3 kuintal gurami dari penebaran sekitar 300.000 bibit ukuran pentol korek,' katanya.

Terpal

Terpal merupakan bahan plastik kedap air. Sifat itu yang membuatnya berguna sebagai lapisan penahan air di kolam. Kolam terpal sesungguhnya sudah biasa dipakai peternak ikan hias, tetapi pada peternak ikan konsumsi sangat jarang.

Kolam terpal mudah dibuat. Mula-mula disiapkan rangka kolam dari bambu, kayu, dan bata berlapis semen tipis. Besar kecilnya rangka disesuaikan kebutuhan dan kapasitas produksi. Jika tak mau repot bisa langsung menggali tanah lalu melapisinya dengan terpal. Kedalaman kolam 40 cm. Untuk kolam berukuran 4 m x 2 m Radi membutuhkan 2 lapis terpal ukuran 5 m x 3 m. Terpal sebanyak 2 lapis itu dianggap cukup kuat menahan air agar tidak bocor ke luar kolam. Kolam berukuran 4 m x 8 m bisa diselesaikan dalam 2-3 jam.

Agar terpal stabil tak bergeser, ia 'diikat' dengan belahan bambu yang ditangkupkan pada rangka di tepi kolam. Berikutnya, kolam terpal diisi air lalu didiamkan sehari semalam. Selanjutnya kolam dibilas dan diisi air baru setinggi 40 cm sebelum benih gurami seukuran kuku dicemplungkan.

Air dangkal sebenarnya membuat fluktuasi suhu tetap tajam. Oleh karena itu sebelum terpal dipasang, Radi menebar sekam padi secara merata setebal 5-10 cm di dasar kolam. 'Fermentasi sekam membuat dasar kolam tetap hangat di malam hari,' tutur Hardaningsih. Hal serupa sudah dilakukan peternak lele di Kulonprogo, DI Yogyakarta. Mereka menebarkan sekam sebagai alas kolam terpal. Kolam 4 m x 8 m perlu 3 m3 sekam. 'Suhu kolam lebih stabil dengan terpal dan sekam,' kata Wagiran, peternak di Kulonprogo.

Resirkulasi

Meski mudah dikontrol, kedalaman air di kolam yang kurang dari 0,5 m itu membuat kolam tidak mampu menahan oksigen terlarut alias DO terlalu lama. Dalam 6 jam, angka DO di kolam berukuran 2 m x 2 m dengan populasi 2.000-4.000 bibit lepas telur anjlok menjadi 1 ppm dari sebelumnya 5 ppm. Itu terlihat dari kemunculan bibit ke permukaan air untuk menangkap oksigen dari udara.

Untuk mempertahankan kadar oksigen terlarut, Drs M Sulhi, peneliti di Balai Riset Perikanan Budidaya Air Tawar di Sempur, Bogor, menyarankan memasang pompa blower atau aerator yang lazim dipakai di akuarium. Pompa mungil berdaya listrik 15 watt itu mampu menyedot air dari dasar kolam sedalam 40 cm ke dalam ember kapasitas 50 l untuk resirkulasi air. Setiap aerator bisa dipakai untuk kolam berukuran maksimal 5 m x 3 m. Dengan cara ini, paling buruk angka DO tidak akan kurang dari 2 ppm.

Ember sebagai tempat filter biologis diisi ijuk, pasir kasar, dan kerikil, masing-masing berjumlah 20% volume ember. Ember diletakkan di sudut setinggi permukaan kolam. Untuk mengeluarkan air bersih, ember dihubungkan pipa PVC berdiameter 3/4 inci ke arah diagonal penampang kolam. Panjang pipa disesuaikan dengan sisi panjang kolam. Pipa itu dilubangi sebesar 1-2 mm setiap 20-30 cm untuk mengalirkan air ke permukaan kolam. 'Pancuran air menaikkan DO sampai 5 ppm sehingga ikan tidak kekurangan oksigen,' kata Dr Estu Nugroho MSc, peneliti ikan dari Bogor.

Sistem resirkulasi juga mencegah fluktuasi suhu. 'Resirkulasi membantu menghambat laju perubahan suhu air pada waktu siang dan malam,' kata Estu. Itu yang penting. Apalagi sejatinya gurami punya daya tahan hidup pada air dengan kadar oksigen rendah. Musababnya gurami punya labirin yang membuatnya bisa mengambil oksigen dari udara.

Yang pasti kolam terpal dan seperangkat perlakuan yang menyertainya membuat kolam mudah dikontrol. Tingkat sintasan ikan pada pembenihan sampai pembesaran naik. Kerugian seperti diderita Radi pun tinggal cerita. (A. Arie Raharjo)

Sumber: TRUBUS, September 2009

Rabu, 16 September 2009

Industri Belut di Jepang



Masyarakat Jepang punya tradisi makan belut-belutan. Tak heran bila total konsumsinya mencapai 130 ribu ton per tahun.

Untuk memenuhi kebutuhan bahan baku unagi, begitu nama menu populer berbahan baku belut-belutan, Jepang mengimpor sekitar 70% dari China, sisanya dari Taiwan, Korea, dan Eropa. Pasalnya, produksi dalam negeri hanya sanggup menyediakan 20%. Pasar Jepang terutama membutuhkan sidat (eel) jenis Anguilla japonica.

Dalam rangka mengetahui peluang ekspor belut Indonesia, awal tahun ini KBRI Tokyo, Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), dan Working Group for Technology Transfer (WGTT) mengunjungi empat industri pengolahan belut Jepang (sidat) di Kota Hamatsu, Prefektur Shizuoka, Jepang, yaitu Daiwa Eel Co. Ltd, Unagi no Gotoh Corp. (keduanya mengolah secara tradisional) serta Koperasi Unagi Yougyou dan Shunkado Co. Ltd. (keduanya mengolah secara modern). Dodik Kurniawan, General Manager WGTT beserta tiga rekannya melaporkan kondisi industri tersebut untuk Anda.


Daiwa Eel

Perusahaan ini membesarkan belut dalam rumah kaca dengan air yang suhunya terkontrol 30oC dan menggunakan kincir. Budidaya berlangsung selama 6—12 bulan. Sebelum diolah, belut dipuasakan 7 hari untuk membersihkan isi perut dan menghilangkan rasa amisnya dengan mengalirinya terus menerus.

Pengolahan dilakukan dengan membelah sidat menjadi dua bagian, mengambil duri, dan memotong kepala. Setelah dicuci dan dibakar dua kali, belut diberi saus manis keistimewaan unagi kabayaki. Perusahaan yang mengolah 20.000 per hari ini memasarkan produk unagi kabayakinya ke pasar swalayan.

Sumber: AGRINA, September 2009.

Mereka Kepincut Belut



Tua, muda, laki-laki, perempuan, banyak yang terjun ke bisnis belut. Alasannya sangat masuk asal, permintaan pasarnya nggak jenuh-jenuh. Jangankan bisa menutupi kebutuhan pasar ekspor, memenuhi keperluan dalam negeri saja tak pernah luber. Karena itu pula Komalasari dan Lenny Huang tetap konsisten mengurut-urut laba sang belut.


Hj. Komalasari, 250 Kg Sehari

Komalasari, wanita paruh baya dari Sukaraja, Sukabumi, memang identik dengan belut. Cobalah menelusuri Cianjur sampai Sukabumi. Di sana mudah kita temukan oleh-oleh olahan belut beragam merek “berbau” Komalasari. Namun, Komalasari yang serius menggarap bisnis belut sejak 1980 justru menempelkan label “Flamboyan” pada produk belut olahannya.

Di tangan wanita yang satu ini, belut diutak-atik menjadi 14 jenis makanan. Mulai dari keripik, dendeng manis, balado, abon, hingga jamu berkhasiat. Setiap hari ia mengolah 100 kg belut segar. Plus 100 kg lagi yang khusus dijual segar. Di luar itu, ia juga menjual benih belut rata-rata 50 kg per hari.

Komalasari menjual hasil olahan belut dengan harga beragam, mulai dari Rp10.000 per bungkus sampai Rp140 ribu per kg. Sedangkan belut segar ia jual rata-rata Rp25.000 per kg. Khusus benih belut, harganya dipatok Rp40.000 per kg.

Selain dilempar ke pasar lokal, aneka produk olahan belut made in Bu Haji ini diekspor, misalnya ke Arab Saudi. Menurut dia, pesanan tersebut berasal dari permintaan TKI yang bermukim di sana. “Seminggu saya kirim 100 kg lewat kargo saja,” tandasnya.

Sumber : AGRINA ,September 2009.

Pembesaran Selicin Kulitnya


Bahan media, kondisi benih, dan ekosistem lingkungan menjadi catatan khusus dalam budidaya belut.

Sekilas pembesaran belut terlihat begitu sederhana dan mudah. Namun kenyataannya tidak demikian. Banyak kasus pengusaha gagal dan rugi besar dalam membudidayakannya. Selain metode pembesaran beranekaragam, ternyata usaha ini memerlukan ketelatenan dan kesabaran. Lalu kiranya hal apa saja yang krusial dan menjadi perhatian khusus dalam usaha pembesaran?



Pilih Kolam

Langkah awal adalah pemilihan tempat pembesaran. Kebanyakan pembudidaya memilih membangun kolam sebagai sarana pembesaran. Jenis kolam pun beraneka ragam. Ada yang dibuat permanen dengan dinding plester, bambu, ada pula yang hanya beralaskan terpal, plastik atau jaring. “Bentuk kolam di tempat saya macam–macam. Ada bak permanen, ada terpal dan plastik. Pokoknya semua saya coba,“ ungkap Agung Herawan, pengusaha belut yang farm-nya bernama 11-12 di Linggajati, Indramayu.

Metode lain menggunakan drum sebagai tempat budidaya, seperti yang selalu digemborkan Ruslan Roy dalam setiap seminarnya. Menurut pengusaha sekaligus eksportir belut ini, drum sangat cocok bagi pebisnis yang baru memulai usaha pembesaran. Selain biaya murah, risiko kegagalan pun dapat ditekan. “Saya berikan motivasi ke masayarakat dengan kondisi seadanya. Ini sesuai dengan keadaan masyarakat kita, sebab dengan investasi besar kita harus siap menghadapi risiko,“ jelas pemain yang sudah terjun di bisnis belut sejak 1987 ini.

Sumber: AGRINA , September 2009.

Belut Masih Andalkan Tangkapan Alam


Masih Andalkan Tangkapan Alam

Peluang membudidayakan belut masih terbuka, sayangnya peminat tersandung pasokan benih yang hasil tangkapan.

Benih berperan penting dalam kesuksesan budidaya belut. Namun sampai sekarang, pembibitan belut yang memenuhi standar seperti ikan komersial lainnya belum ada. Pun Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Tawar, Sukabumi, seperti diungkap Ade Sunarma, peneliti di sana, belum dapat menyediakan benih belut. Jadi, benih belut sebar benih berkualitas baik belum bisa didapat.


Berebutan

Hal tersebut dibenarkan beberapa petani belut di Indramayu, Kuningan, Sukabumi, dan Bandung, semua di Jabar. Mereka mengakui, belum ada standar baku untuk benih tebar dan terpaksa memanfaatkan tangkapan alam serta hasil seleksi budidaya dari siklus sebelumnya.

Syaiful Hanif, dari Indramayu misalnya, mengatakan, “Benih tangkapan ini ukurannya tidak seragam, ada yang besar, ada yang kecil dan perlu dilakukan sortir lagi.” Padahal ia sendiri membutuhkan sekitar 600 kg benih untuk memasok 20 kolamnya. Belum lagi mitranya yang berjumlah 40 anggota memerlukan pasokan sekitar 2.400—3.600 kg benih dengan ukuran 100 ekor per kg.

Masih di Indramayu, Agung Herawan, pembudidaya di Desa Linggajati, Kecamatan Arahan, butuh sekitar 500 kg benih dengan ukuran 60 ekor per kg untuk memasok 5 kolamnya yang berukuran 10 m x 10 m. Kebutuhan benih Agung ini belum termasuk 12 orang mitranya yang rata-rata memiliki dua sampai tiga kolam per orang.

Karena itu, selain menghasilkan benih sendiri dari kolam miliknya, Agung juga mendatangkan dari Jateng dan Jabar (Kuningan, Sumedang dan Subang). Benih tersebut dijual ke mitranya dengan harga Rp40.000 per kg.

Menurut Hj. Komalasari, pembudidaya dan pelaku usaha pangan olahan belut di Sukabumi mengatakan, susah memperoleh belut sebagai bahan baku pangan olahan. Ia pun bermitra dengan petani, tapi sang petani juga kesulitan memperoleh benihnya. Tak urung Komalasari pun membudidayakan sendiri benih sebar untuk mitranya itu.

Sumber: AGRINA, September 2009.

Ayo, Merajut Bisnis Belut

Saban tahun, permintaan dari pembeli luar negeri maupun lokal terus naik. Harganya pun terus terdongkrak.

Dalam tiga tahun terakhir, keberadaan belut di Tanah Air mulai banyak diperhatikan. Betapa tidak, makhluk licin berlendir itu sangat diminati konsumen luar negeri. Terutama konsumen oriental seperti Jepang, Hongkong, Korea Selatan, China, dan Taiwan.

Menurut Saut P. Hutagalung, Direktur Pemasaran Luar Negeri, Ditjen P2HP, Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP), permintaan keluarga belut dunia sekitar 230 ribu ton setahun. Pasar terbesarnya adalah Jepang yang butuh pasokan 130 ribu ton per tahun.

Belut (termasuk sidat) sangat digemari oleh konsumen luar negeri lantaran rasanya yang gurih dan penuh gizi. “Belut itu punya beberapa kelebihan dibandingkan produk lain,” ungkap Saut. Dibandingkan daging sapi, telur, dan rata-rata ikan, lanjut dia, kandungan energi belut lebih tinggi. Misalnya, per 100 gr telur dan daging sapi masing-masing mengandung 162 kilokalori (kkal) serta 210 kkal. Sedangkan belut mencapai 300 kkal lebih per 100 gr.

Kelebihan lainnya tampak dari kandungan proteinnya. Dibandingkan daging sapi hampir sama, yakni 18,5 gr protein per 100 gr daging. “Tapi kalau dibandingkan dengan telur, yang banyak dikonsumsi di mana-mana, belut lebih tinggi 30%,” tandas Saut.

Satu kelebihan lain belut adalah nilai cerna daging yang relatif tinggi dibandingkan daging merah. Oleh sebab itu daging belut mudah dicerna sehingga baik diberikan kepada anak-anak yang pencernaannya belum sempurna dan orang tua fungsi pencernaannya sudah mulai menurun.

Sumber: AGRINA, September 2009

Selangkah Patin Indonesia Maju, Seribu Langkah Vietnam Melaju


Bukan berita baru mendengar Indonesia berobsesi menggeser Vietnam sebagai produsen utama patin dunia. Dalam beberapa tahun belakangan, gaung tekad itu kerap mengemuka. Itu pula yang kembali ditegaskan Direktur Jenderal Perikanan Budidaya, DKP, Made L Nurdjana ketika berlangsung Forum Budidaya Patin medio Juli lalu di Riau.
?Patin merupakan komoditas perikanan yang mempunyai pangsa pasar sangat besar baik di dalam negeri maupun luar negeri,? kata Made pada acara yang bertema ?Pengembangan budidaya patin berbasis mutu dan keamanan pangan melalui penerapan CBIB dalam upaya pemenuhan kebutuhan pasar lokal dan peluang ekspor? tersebut. Indonesia, katanya, memiliki daerah-daerah yang sangat potensial untuk pengembangan patin. Dengan demikian produksinya bisa terus ditingkatkan dan diharapkan bisa memenuhi kebutuhan pasar baik lokal maupun ekspor.
Lebih jauh, Direktur Produksi Perikanan Budidaya, Iskandar Ismanadji pada kesempatan yang sama menyebutkan, produksi patin pada 2008 mencapai sekitar 52 ribu ton. Pertumbuhannya sekitar 35% per tahun. ?Angka itu masih bisa ditingkatkan karena potensi lahan budidaya patin masih sangat luas. Yakni berupa perairan umum (sungai, danau, waduk, rawa) serta perkolaman. Budidaya patin ini sangat memungkinkan untuk dikembangkan secara massal,? tegas Iskandar.
Setidaknya propaganda itu cukup berhasil menyulut semangat warga untuk membudidayakan ikan yang juga dikenal sebagai catfish tersebut. Budidaya patin pun mulai marak dikembangkan terutama di daerah-daerah yang kaya akan sungai. Bahkan di Kabupaten Kampar, Riau, pengembangan patin tak cukup sampai di budidaya saja, tapi juga akan dikembangkan sampai ke pengolahannya.
Sebuah perusahaan patungan yang melibatkan Pemprov Riau, Pemkab. Kampar dan PT Bonecom Budidaya Kampar perusahaan pengolahan ikan laut bersiap membangun pengolahan ikan patin untuk ekspor. Pencanangan dan pemancangan tiang pertama telah dilakukan tiga tahun lalu. Sekarang ini dalam tahap proses tender pembangunan gedung dan pabrik. Diharapkan pada September 2009 pembangunan sudah bisa dimulai dan pada Agustus 2010 perusahaan berbendera PT Kamparicom itu siap beroperasi.
Total investasi pembangunan pabrik itu mencapai Rp 170 miliar yang dibagi rata untuk masing-masing pihak. Dengan modal itu akan dibangun perkantoran, pabrik pengolahan ikan, perumahan karyawan, keramba, pabrik tepung ikan dan fasilitas lainnya di atas lahan 11,8 ha. Diperkirakan PT Kamparicom akan menyerap tenaga kerja sekitar 500 orang untuk di pabrik, belum termasuk tenaga adminstrasi dan lain-lain.
?Ketiga pihak telah berkomitmen terjun dalam usaha pengolahan ikan patin dalam bentuk fillet untuk tujuan ekspor,? kata Direktur Utama PT Kamparicom, Adhy Rahardi kepada TROBOS. Disamping fillet patin, mereka juga akan memproduksi fillet nila dengan persentase produksi 45% untuk patin dan 55% nila.
Untuk tahap awal, PT Kamparicom akan membangun pabrik pengolahan ikan berkapasitas 30 ton/hari, infrastruktur, energy center dan pabrik tepung ikan. Tahap ke dua membangun pabrik dengan kapasitas 80 ton/hari dan tahap ke tiga berkapasitas 180 ton/hari. ?Sebagai tahap awal, dari bahan baku 30 ton nantinya akan diproduksi 10 ton fillet patin setiap hari,? ujarnya. Berdirinya PT Kamparicom ini mendapat respon positif dari Made.

Belum Bisa Samai Vietnam
Tapi, geliat pengembangan patin di dalam negeri ini masih sangat jauh untuk bisa sekadar menyamai poduksi patin Vietnam. Produksi patin Vietnam pada 2008 sudah mencapai 1 juta ton. Tak aneh jika patin dari Negeri Paman Ho tersebut membanjiri pasar dunia, termasuk Indonesia. Hebatnya, Vietnam bisa menjual fillet patinnya dengan murah yaitu Rp 9.000 per kg. Bandingkan dengan produk serupa dari Indonesia yang harga jualnya mencapai Rp 17.000 per kg.
Budi Tangendjaja, pakar nutrisi yang konsultan ASA (American Soybean Association) menyatakan, harga patin Vietnam bisa begitu rendah karena produksi patin terintegrasi dengan sangat efisien di kawasan sepanjang Sungai Mekong. Ini memungkinkan karena mulai dari kolam budidaya, pabrik pakan sampai ke pabrik pengolahannya, semua berada di sekitar sungai itu. Semua tranportasi dan distribusi untuk keperluan budidaya menggunakan kapal tongkang dan melalui Mekong Delta. ?Dengan alam seperti itu siapa yang bisa bersaing dengan Vietnam?? tanya Budi yang kerap bolak-balik ke daerah tersebut.
Diakui Budi, produksi patin di Vietnam sekarang sedang bermasalah. Mulai timbul penyakit sebagai dampak pola budidaya yang intensif. Selain itu tingkat pertumbuhan produksinya juga mulai menurun. Sementara beberapa eksportir mulai merugi dan tak bisa melakukan ekspor akibat kian ketatnya peraturan dari pembeli. Budi memperkirakan akan terjadi konsolidasi di antara perusahaan-perusahaan tersebut. ?Ini merupakan cara agar tetap bertahan,? katanya.
Kendati demikian, tingkat fleksibilitas produk patin Vietnam masih besar, Budi menyebutkan, setiap hektar kolam di Vietnam mampu menghasilkan 400 ton patin. Dan dalam setahun bisa panen 2 kali (masing-masing 500 ribu ton). Maka untuk produksi 500 ? 600 ribu ton patin, cukup dipenuhi dari 1500 hektar kolam. Jika melihat sumber daya Sungai Mekong yang belum termanfaatkan, kapasitas produksi Vietnam masih sangat memungkinkan untuk diperbesar lagi. ?Mekong Delta itu cabang-cabangnya banyak, kalau tata ruang diperbaiki, produksi patin bisa ditingkatkan,? katanya.
Sementara, jumlah eksportir patin di sana sudah mencapai lebih dari 100 perusahaan dengan pasar mencapai puluhan negara yang tersebar di seluruh dunia. Tiap perusahaaan bisa mengekspor 5-6 kontainer per hari,? katanya Untuk perusahaan pakannya mencapai 200 perusahaan. Pengembangan patin di Vietnam juga didukung penuh oleh pemerintahnya. Mereka berkomitmen, pembangunan infrastruktur adalah tanggung jawab mereka.
Itulah mengapa patin Vietnam bisa lebih murah. Saat ini harga per kg ikan mentah patin masih sangat murah, sekitar Rp 6500 sampai Rp 7000 per kg. ?Dilihat dari biaya produksinya, sulit untuk berhadapan head to head (bersaing) dengan Vietnam untuk produksi patin,? kata Budi. Bahkan Budi berpendapat, sebaiknya mengganti patin dengan komoditas lain jika akan menyasar ekspor. ?Kalau mau ekspor jangan pilih patin, karena akan kalah bersaing dengan Vietnam,? ujarnya.

Miskin Inovasi
Dari kondisi terakhir, wajar jika pengusaha lebih memilih patin Vietnam daripada patin lokal. Tak cuma harga, kontinyuitas pasokan patin lokal juga dipermasalahkan. Bahkan ketika Zuhairi Noor Afzan pembudidaya patin dari Kalsel menyatakan siap memproduksi 50 ton/hari dalam beberapa bulan ini, hal tersebut belum membuat pemasok patin dalam negeri tertarik. Mereka masih meragukan spesifikasi keseragaman, kualitas daging dan kontinyuitas pasokan.
Dan dari penyelenggaraan Catfish Day 2009 di Jogjakarta beberapa waktu lalu tersimpulkan, pengembangan budidaya patin di Indonesia masih berorientasi pada produksi secara kuantitas. Juga sama sekali belum menyentuh masalah pengembangan produk, apalagi mengembangkan sisi nilai produk yang tak mudah diukur (intangible) seperti pencitraan produk dan strategi promosi. Inilah alasan patin Indonesia kalah bersaing dengan patin Vietnam.
Eksportir ikan berbendera PT Kelola Mina Laut yang berbasis di Jawa Timur, Muhammad Sholin berpendapat, perlu ada pengembangan produk patin Indonesia guna meningkatkan nilai tambahnya. Lagi-lagi Indonesia harus belajar dari Vietnam. Di sana, demi membangun produk dan citra patin dan segala produk turunannya, pemerintah rela menggelontorkan dana sangat besar untuk riset value dan pengembangan produk. ?Langkah itu kini ditiru Malaysia. Makanya, jangan sampai kita kalah berpacu dengan mereka yang teknologinya masih di bawah kita,? kata Sholin.

Sumber: Trobos

Minggu, 10 Mei 2009

Ekspor Patin Masih Terganjal

Patin Indonesia kalah bersaing dalam hal harga dengan patin Vietnam

Tekad Indonesia untuk menggeser posisi Vietnam sebagai produsen utama patin dunia masih membentur dinding beton. Alih-alih mewujudkan tekad tersebut, pasar dalam negeri justru kebanjiran oleh produk patin asal Vietnam. Alasanya, karena kalah bersaing soal harga.
“Patin Vietnam telah masuk pasar Indonesia sekitar 500 ton per bulan,” kata Dirjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan – Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) pada acara temu bisnis peluang usaha dan investasi patin di Jakarta awal April lalu. Dia menyebutkan, harga patin dari Indonesia mencapai Rp 17. 000 per kg, sementara Vietnam bisa menjualnya dengan harga yang jauh lebih murah yaitu Rp 9.000 per kg. Tak heran jika konsumen utama patin seperti Amerika Serikat (AS) dan Uni Eropa (UE) lebih memilih patin dari Negeri Paman Ho.

Tak Bisa Jual Patin
Kondisi terakhir inilah yang menjadi keluhan pelaku usaha patin di tanah air. Denny Indradjaja, General Manager Business Research and Government Relation PT CP Prima yang hadir pada acara tersebut menganggap, pasar patin untuk saat ini kurang prospektif. “Selama kita tak bisa menjual patin dengan harga seperti Vietnam, maka kita tetap tidak bisa ekspor patin,” katanya setengah putus asa.
Denny menuturkan, pihaknya pada tahun lalu telah memulai usaha budidaya patin bekerjasama dengan Loka Riset Pemuliaan dan Teknologi Budidaya Perikanan Air Tawar, Sukamandi. Tujuan utamanya adalah menembus pasar ekspor. Maka tak tanggung-tanggung, mereka mengadopsi persis semua teori budidaya patin yang diterapkan di Vietnam.
Hasilnya cukup fantastis. Emma Dolly Raphen, Marketing Commercial Fish PT CP Prima menyebutkan, produksi perdana budidaya patin ala Vietnam itu mencapai 150 ton untuk dua kolam ukuran 6000 m2. “Tapi, kita tak bisa menjualnya karena kalah harga dengan Vietnam,” katanya. Patin-patin tersebut kini bahkan telah mencapai ukuran 1,5 sampai 2 kg dengan masa budidaya mencapai hampir setahun.

Ada Peluang
Tingginya harga patin Indonesia jika dibandingkan dengan patin Vietnam juga diakui Saut P Hutagalung, Direktur Pemasaran Luar Negeri, Ditjen P2HP DKP. Tapi, katanya, harga yang murah itu karena kandungan air patin Vietnam sangat tinggi hingga mencapai 40%. “Kalau dioven, daging patin Vietnam susut tinggal 60%,” ujarnya. Sementara menurut Emma, kandungan air patin Indonesia hanya 10%.
Walau demikian, kata Saut membesarkan hati, masih ada peluang bagi patin Indonesia di pasar dunia. Menurut dia, konsumen patin di AS dan UE saat ini sudah tahu kalau patin Vietnam murah karena kandungan airnya tinggi. Selain itu, lingkungan budidaya di Vietnam juga sudah buruk sehingga produk budidayanya bisa mengkhawatirkan konsumen. Beda dengan Indonesia yang mengembangkan patin dari lingkungan yang masih baik.
“Peluang masih terbuka. Beberapa negara seperti Kanada, Slovakia dan Uni Emirat Arab sudah meminta pasokan patin dari Indonesia,” katanya. Mereka meminta patin yang berdaging putih dengan ukuran minimal 800 gram.
Menurut Saut, adanya krisis finansial global telah meningkatkan permintaan patin. Sebab, harga patin lebih murah dibandingkan dengan ikan-ikan lainnya. Disamping itu, adanya pembatasan penangkapan ikan cod di UE karena telah kelebihan tangkap (overfishing) juga kian mendongkrak permintaan patin di sana. Patin dianggap bisa menggantikan kedudukan ikan cod yang selama ini menjadi makanan favorit penduduk Eropa. Struktur daging ikan berkumis ini hampir sama dengan ikan cod dan harganya murah.
“Tantangan kita saat ini adalah membuat patin lebih murah biaya produksinya,” ujar Saut. Ditambahkan Martani, “Kalau bisa menggantikan impor patin dari Vietnam, itu sudah luar biasa.”

Terobosan Teknologi Budidaya
Demi menghasilkan patin dengan biaya produksi yang rendah ini maka harus ada terobosan teknologi budidaya yang bisa mempercepat pertumbuhan patin. Demikian diungkapkan Gunadi Ali Wirawan, Diektur Utama PT Muara Manggalindo pada kesempatan yang sama.
Menurut dia saat ini untuk mencapai ukuran patin 1 kg membutuhkan waktu sekitar 9 bulan. “Padahal ada yang sudah bisa budidaya dalam waktu 5 bulan. Karena itu kecepatan tumbuh harus dikejar,” kata Gunadi yang mengaku telah melakukan ekspor fillet patin.
Dia menambahkan, ada banyak faktor yang membuat harga patin di Indonesia lebih mahal daripada Vietnam, yang utamanya adalah komponen teknologi budidaya dan pakan. Vietnam bisa menghasilkan patin murah karena pakannya juga murah dan masa budidayanya singkat.
Dia menyebut, harga pokok patin Vietnam berkisar Rp 6000-7000 per kg. Sedangkan di Indonesia, harga pokoknya berkisar Rp 8.000 – Rp 11.000 per kg. Karena itu, sulit bagi Indonesia untuk menyamai harga patin Vietnam.
Sementara itu dalam proses pengolahan fillet patin, Vietnam merendam daging patin di dalam air dengan diberi bahan kimia yang bisa menahan air tersebut agar tak keluar lagi. Alhasil, bobot fillet patin menjadi bertambah. Menurut Gunadi, bahan kimia ini kini telah dilarang penggunaannya oleh FDA (Badan Pengawasan Obat dan Makanan) AS.
Soal pakan, Vietnam bisa lebih murah karena sebagian bahan baku pakan bisa diproduksi di dalam negeri. “Vietnam utara beriklim subtropis sehingga bisa ditanami kedelai untuk bahan pakan,” kata Gunadi. Sedangkan Indonesia, nyaris semua bahan baku pakannya seperti kedelai dan jagung harus impor.
Selain itu, kata Denny menambahkan, pakan di Vietnam bisa lebih murah karena impor bahan baku pakannya bebas bea masuk (BM). “Kalau di Indonesia, BM bahan bakuk pakan mencapai 5%. Karena itulah harga pakan di sana bisa lebih murah 10 -15% dibandingkan pakan Indonesia,” ujarnya.

Sumber: Trobos, Mei 2009

Akuakultur China Meraja, Indonesia Keteter

Produksi gemilang akuakultur China dimulai pada start yang sama dengan Indonesia pada 1949, di angka 20 ribu ton/tahun

China benar-benar membuktikan ramalan banyak pakar yang menyebutkannya bakal menjadi kekuatan besar di dunia. Paling tidak, ini terlihat jelas di sektor perikanan.
Negeri Panda tersebut secara menakjubkan berhasil meningkatkan produksi perikanan budidaya hingga menjadi yang terbesar di dunia, mencapai lebih dari 40 juta ton per tahun. China sadar betul, ke depan, masyarakat dunia akan kian membutuhkan pasokan produk perikanan. Apalagi dengan adanya tren untuk lebih memilih mengkonsumsi produk hewani berdaging putih (white meat) daripada daging merah (red meat). Maka, produksi perikanan budidaya harus digenjot. Sebab perikanan tangkap sudah tak mungkin lagi diharapkan setelah terus menerus dieksploitasi sumberdayanya. Dengan kata lain, perikanan budidaya adalah kunci memenangi persaingan dunia yang kian ganas.
Lebih dari itu, China juga berkepentingan untuk mencukupi sendiri kebutuhan ikan bagi satu setengah miliar warganya. Itulah mengapa China habis-habisan mengembangkan industri perikanannya. Satu bukti keseriusan China mengembangkan perikanan mereka adalah dengan membangun pasar ikan terbesar di dunia dengan luasan tak kurang dari 40 hektar. Diperkirakan, pasar ikan yang kini sedang dibangun di Shanghai tersebut nilai transaksinya akan melampaui transaksi Pasar Tsukiji Hideji Otsuki—pasar induk ikan terbesar di dunia saat ini—di Tokyo Jepang. Perputaran uang untuk ikan di Pasar Tsukiji yang sudah ada sejak zaman Edo (sekitar 400 tahun lalu) tersebut sekitar 300 juta yen per hari (sekitar Rp 27,6 miliar).
Hebatnya lagi, produksi yang gemilang atas perikanan budidaya China ini dimulai pada start yang sama dengan Indonesia, yakni berada pada angka produksi 20 ribu ton per tahun pada 1949. Sayangnya beberapa dasawarsa setelah itu, produksi perikanan budidaya China melesat meninggalkan Indonesia. Kendati dari sisi potensi wilayah, Indonesia lebih unggul dibandingkan Negeri Tirai Bambu itu (lihat tabel). Diperkirakan, produksi perikanan China masih akan terus meningkat dalam beberapa tahun ke depan. Bahkan akan bisa melampaui produksi babi yang selama dua dasawarsa terakhir menjadi sumber utama protein hewani di sana.
Sementara Indonesia yang meskipun menurut data FAO 2007 masih bertengger di posisi ke tiga sebagai produsen akuakultur dunia, namun angka produksinya sangat jauh dari China. Hanya 3 juta ton, sangat tidak sepadan dengan potensi akuakultur bumi nusantara yang sangat besar. Padahal seperti China, Indonesia termasuk negara dengan populasi penduduk yang besar. Siswono Yudo Husodo, Dewan Penasehat HKTI (Himpunan Kerukunan Tani Indonesia) dalam satu kesempatan di Jakarta menyebutkan, dalam waktu 40 tahun, penduduk Indonesia akan menjadi 2 kali lipat. Jika tahun 2000 jumlah penduduk Indonesia mencapai 200 juta jiwa, maka pada 2040, populasinya akan menjadi 400 juta jiwa.
”Ini akan menjadi pasar raksasa,” kata Siswono mengingatkan. Jika akuakultur dipastikan akan mendominasi konsumsi pangan hewani di masa depan, maka Indonesia setidaknya harus bisa mencukupi sendiri kebutuhan produk tersebut bagi warganya. Jika tidak, Indonesia hanya akan menjadi bulan-bulanan produk akuakultur dari negara lain.

Permintaan Pakan Meningkat
Peran penting akuakultur memang kian tak terbantahkan. Karena itulah beberapa negara ramai-ramai meniru langkah China, terutama negara-negara di Asia Pasifik seperti India, Vietnam, Thailand dan tentu saja Indonesia. Mereka mengekor China dan bersaing ketat sebagai produsen akuakultur utama dunia.
Adanya perlombaan produksi perikanan budidaya menurut Budi Tangendjaya –peneliti dan konsultan pakan ternak dan ikan— bisa ditengarai dari meningkatnya konsumsi perikanan dunia terutama di Amerika Serikat dan di Uni Eropa (UE). Walau demikian, harga komoditas tersebut justru turun. Artinya telah terjadi peningkatan volume produksi perikanan budidaya di dunia. Sebab, produksi perikanan tangkap cenderung stagnan dalam beberapa tahun terakhir.
Kian berpacunya banyak negara dalam menghasilkan ikan-ikan budidaya juga terlihat dari permintaan pakan (pellet) ikan dan udang yang cenderung meningkat. Budi mengatakan, permintaan pakan ikan dan udang ini akan terus naik karena budidaya ikan secara tradisional yang menggunakan pakan alami seperti ikan rucah sudah mulai ditinggalkan dan beralih menggunakan pakan buatan. Di China misalnya, kata Budi, produksi akuakultur meningkat karena penerapan teknologi budidaya intensif yang tidak mengandalkan pakan alam melainkan dari pabrik.
Secara terpisah, Ketua Divisi Ikan Asosiasi Produsen Pakan Indonesia (GPMT), Denny Indradjaja menyebutkan, permintaan pakan ikan dan udang di seluruh dunia terus naik. Di Indonesia saja terjadi peningkatan sebesar 5%. Sementara, kenaikan permintaan pakan terbesar terjadi di Vietnam, yakni mencapai 10%. ”Semua pabrikan pakan ikan/udang di dunia saat ini mempunyai pabrik di Vietnam,” Denny menjelaskan.
Denny menyebutkan, untuk ikan patin saja Vietnam membutuhkan 1,5 juta sampai 2 juta ton pakan ikan per tahun. Sedangkan di Indonesia, total pemanfaatan pakan ikan dan udang setiap tahunnya hanya sekitar 800 – 900 ribu ton. Secara umum, serapan pakan ikan/udang di tanah air hanya 30% dari serapan pakan ikan/udang Vietnam dan 10 – 15% dari serapan pakan ikan/udang di Thailand.
Padahal menurut Denny, penggunaan pakan buatan ini sangat penting dalam mendukung kegiatan akuakultur. Pellet bisa mempercepat masa budidaya hingga 2 kali lipat. Penggunaan pakan formula ini di negara-negara kompetitor di atas sudah mencapai 80%. Sedangkan di Indonesia baru sekitar 60%.
Di sisi lain, Vietnam juga sangat cerdik memanfaatkan bahan-bahan lokal sebagai bahan baku pakan, yakni mencapai 70%. Misalnya, menurut Budi, Vietnam tidak lagi menggunakan tepung ikan yang mahal sebagai sumber protein bagi pakan ikan patin. Hal itu memungkinkan karena patin tidak membutuhkan protein yang tinggi, cukup 22% bukan 32%. Sebagai sumbernya, mereka menggunakan bungil kedelai, MBM (meat bone meal/tepung tulang dan daging) dan PMM (poultry meat meal/tepung daging unggas) yang jauh lebih murah daripada tepung ikan. Sementara di Indonesia, kandungan bahan lokal pada pakan ikan/udang menurut Denny baru sekitar 30%. Sehingga biaya pakan ikan/udang di Vietnam lebih murah daripada di Indonesia.

Peluang Budidaya Kepiting Soka Menganga

Permintaanya terus meningkat dan usaha budidayanya belum berkembang. Sayang masih terkendala bibit

Cara lama menyantap kepiting telah berakhir. Anda tak perlu berjuang mengkorek-korek cangkangnya demi mengeluarkan dagingnya. Alih-alih, cangkang tersebut bisa dimakan.
Kepiting inilah yang kerap disebut sebagai kepiting soka/lunak (soft shell). Semua bagian tubuh kepiting tersebut bisa dimakan, termasuk cangkangnya yang keras. Fakta itu tak ayal membuat popularitas kepiting soka naik.
Permintaannya terus melonjak meski harganya cukup tinggi. Harga per kilonya bisa mencapai sekitar Rp 60 ribu. Namun, hidangan ini belum banyak tersedia di restoran-restoran penyaji makanan akuatik.
Pasokan kepiting soka masih rendah karena usaha budidayanya belum berkembang. Alasannya terkendala oleh bibit yang selama ini hanya mengandalkan tangkapan alam. Kendati demikian, usaha budidaya kepiting soka tetap menyimpan peluang besar. Apalagi dengan kian bertambahnya penggemar Mr. crab dari hari ke hari.

Produk Rekayasa Budidaya
Lepas dari masalah bibit, budidaya kepiting soka telah mulai dikembangkan di beberapa daerah di pesisir tanah air. Salah satunya di Sidoarjo Jawa Timur. Adalah para tenaga pengajar budidaya di Akademi Perikanan Sidoarjo (APS) yang mulai mengembangkan teknik budidayanya.
Kepiting ini pada dasarnya merupakan produk rekayasa budidaya yang menghasilkan kepiting dengan kulit (cangkang/karapas) yang lunak. Menurut Ketua Jurusan Budidaya APS, Moh. Zainal Arifin, intinya adalah memanen kepiting yang dipelihara saat ganti kulit (molting).
Jenis kepiting yang dibesarkan yaitu kepiting bakau. Kata Zainal, setidaknya ada 3 jenis kepiting bakau yang punya nilai ekonomis tinggi antara lain Scylla serrata, Scylla oceanica, dan Scylla transquebarica.
Dari ketiga jenis kepiting tersebut, Scylla serrata pada umur yang sama umumnya berukuran lebih kecil dibandingkan kedua jenis lainnya. Namun dari segi harga dan permintaan, jenis Scylla serrata terbukti lebih unggul.
Lebih lanjut ia menjelaskan, percobaan teknik budidaya kepiting soka yang diterapkan di lahan praktek budidaya milik AP seluas 17,5 hektare menggunakan sistem keramba apung. “Kita buat seperti keranjang apung dengan membuat kotakan-kotakan kecil untuk menaruh kepiting atau biasa disebut kolam baterai,” kata Zainal kepada TROBOS beberapa waktu lalu di Sidoarjo.
Masing-masing keramba, lanjutnya, digantungkan pada jalur tali tambang yang dibuat memanjang sesuai dengan ukuran tambak. Posisi keramba sejajar dengan permukaan air. Kedalaman air tambak yang ideal sekitar 1 meter. Keramba dibuat dari bambu yang diikat dengan tali tambang dengan sekatan menggunakan jaring
Ukuran keranjang adalah panjang 1 meter dan lebar 50 cm, dengan kedalaman 15 cm. Satu keramba disekat menjadi 18 petak dengan masing-masing petak berukuran panjang, lebar dan dalam 15 cm. Satu petakan muat untuk memelihara seekor kepiting dengan kedalaman air 10 cm. Pola pemeliharaan sistem sekatan ini cukup efektif, mengingat kepiting punya sifat kanibalisme yang cukup tinggi.
Dengan ukuran tambak milik APS yang digunakan seluas 4 ribu meter persegi, bisa dibuat sekitar 750 keramba. Artinya, dengan tambak seluas itu bisa memelihara tidak kurang dari 13 ribu ekor kepiting. Biaya membuat satu keramba sekitar Rp 100 ribu. Rata-rata kepiting yang dipelihara berukuran 100 gram per ekor atau 1 kg isi 10 sampai 12 ekor.
Bibit kepiting dibeli dari nelayan dengan harga sekitar Rp 15 ribu per kg. Sebelum mulai dipelihara dalam keramba, terlebih dahulu dilakukan pemotongan bagian tubuh kepiting yaitu dengan melepas sepasang capit dan 3 pasang kaki jalan. “Rekayasa tersebut dilakukan untuk merangsang terjadinya proses molting,” jelas Zainal.

Sumber : Trobos, Mei 2009

Sabtu, 02 Mei 2009

Riau Akan Bangun Pabrik Ikan Villet di Kampar

ImageRencana pembangunan pabrik ikan villet (daging bersih) di Kampar segera memasuki tahap pelaksanaan. Diperkirakan, April 2009 nanti penawaran pembangunan pabrik ikan villet akan dimulai, lokasinya di Desa Koto Perambahan, Kecamatan Kampar Timur, Kabupaten Kampar. Tergetnya akan merambah pasar ekspor.


Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Riau, Tengku Dahril, pada acara ekspos PT Kamparikom di kediaman Gubernur Riau, Jl. Gajah Mada, Pekanbaru,Kamis (19/3/2009) mengatakan, Pemprov Riau dan Pemkab Kampar hanya sebagai penyerta modal dalam pembangunan pabrik tersebut. Sedangkan pembangunannya dilakukan oleh PT Bonekom dan pengelolaannya dilakukan PT Kamparikom.

”Anggaran yang dibutuhkan pada tahap awal ini sekitar Rp 10 miliar sampai Rp 15 miliar lebih. Dengan rincian anggaran 38% dari Bonekom yang akan membangun pabrik ikan, Pemkab Kampar 38% dan Pemprov Riau 28%. Pihak BI (Bank Indonesia) juga sudah menyanggupi untuk memfasilitasi pembangunan pabrik pengolahan ikan ini. Kalau anggaran yang dibutuhkan hingga selesai yaitu sekitar Rp 200 miliar,” jelas Dahril kepada riaubisnis.com.

Dahril mengungkapkan, pembangunan pabrik ikan itu pelaksanaannya akan memakan waktu sembilan bulan hingga setahun. Kebutuhan awalnya, 30 ton ikan jenis patin dan nila untuk diolah menjadi ikan villet, yaitu sejenis produk ikan yang dibuka tulang dan kulitnya baru dipasarkan. ”Produksi awal untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, setelah cukup berkembang baru kita lakukan ekspor ke luar. Target kita yang pertama adalah ke Timur Tengah, Eropa dan Amerika,” paparnya.

Untuk memenuhi kebutuhan ikan di pabrik pengolahan, kata Dahril, budidaya ikan juga akan dikembangkan di tiga sungai besar lainnya. Yakni Sungai Indragiri, Rokan dan Siak, serta daerah lainnya yang memiliki sungai dan berpotensi untuk menghasilkan ikan.

”Tadi perusahaan telah melakukan ekspos terkait dengan masalah internal publik dan perencanaan masyarakat. Karena ikan yang akan dikelola oleh pabrik nantinya merupakan ikan hasil masyarakat, di antaranya masyarakat inti yang tiap hari menghasilkan ikan 30 ton dan akan dikembangkan menjadi 80 ton perhari. Hingga 2018 produksi ikan petani di Riau kita harapkan telah mencapai 180 ton per hari,” ujar Dahril.

Dahril menambahkan, Gubernur Riau sangat mendukung rencana pendirian pabrik pengolahan ikan pertama di Riau tersebut. Untuk itu, dia berharap sungai-sungai lain yang ada di Riau bisa dikembangkan sehingga dapat membangun pabrik pengolahan yang sama. ”Untuk wilayah Kampar saja produksi ikannya saat ini sudah mencapai 52-60 ton per hari. Khusus patin baru sekitar 50% dari jumlah produksi. Namun demikian, produksi ikan ini sudah sangat memungkinkan untuk didirikan pabrik pengolahan ikan villet,” ungkapnya.

Untuk pemasaran ikan hasil produksi, rencananya dilakukan langsung kepada konsumen dalam dan luar negeri, serta pemasaran dalam bentuk olahan. ”Sampai saat ini Riau telah menghasilkan 10 produk turunan ikan. Seperti ikan salai, nugget ikan patin, kerupuk, bakso ikan, burger, roti naga dan banyak lagim,” kata Dahril.

Sementara itu, Sekretaris Daerah Kampar, Zulher mengatakan, Pemkab Kampar sudah lama menginginkan adanya pembangunan pabrik pengolahan ikan. Karena potensi ikan yang ada di daerah itu, sudah mendukung didirikannya sebuah perusahaan pengolahan ikan, baik ikan patin maupun ikan nila.

”Bupati Kampar sangat komit untuk mendirikan pabrik pengolahan ikan. Ini merupakan satu-satunya upaya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat petani. Apalagi visi Kampar ingin menjadi pusat agribisnis. Untuk sarana dan anggaran kita sudah siap,” ucap Zulher, tanpa menyebutkan secara rinci berapa anggaran tahap awal yang akan disediakan oleh Pemkab Kampar, untuk mendukung pembangunan pabrik pengolahan ikan villet itu. (*)


sumber: RiauBisnis, Maret 2009

WWF Menekankan Pentingnya Perikanan Budidaya yang Berkelanjutan

The World Wildlife Fund (WWF) telah merespon laporan terbaru dari PBB, menekankan perlunya peningkatan dalam budidaya ikan dan udang yang berkelanjutan.

Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) mengatakan bahwa pasokan makanan dari sektor budidaya sekarang adalah sama dengan hasil tangkapan perikanan laut dan air tawar.

Berdasarkan dokumentasi laporan hasil perikanan tangkap yang terus mengalami penurunan (drop-off), FAO mengatakan “Diperlukan pendekatan manajemen kegiatan perikanan yang lebih terkontrol”.

“Sektor budidaya mengalami pertumbuhan yang dramatis sehingga sangat diperlukan kepastian segera tentang keberlanjutan dan kemampuan dalam menyediakan stok dan pangan untuk mengurangi beban pada perikanan tradisional,” ungkap Miguel Jorge, Direktur Program Kelautan Global WWF.

“Pembukaan lahan di area mangrove harus dihentikan karena area ini merupakan habitat ikan yang rentan terhadap kerusakan lingkungan sehingga resiko polusi dan penyakit harus diturunkan.

Serangkaian dialog akuakultur yang diselenggarakan oleh WWF dan melibatkan lebih dari 2000 petani, organisasi masyarakat (NGO) dan para ahli sedang membuat standar global untuk menurunkan dampak serius dari kegiatan budidaya terhadap lingkungan dan sosial.

Pertimbangan standar awal sedang difokuskan pada 12 spesies dengan dampak ekonomi dan lingkungan yang paling serius, dan diurus oleh badan yang serupa dengan Marine Stewardship Council, perintis skema sertifikasi perikanan tangkap yang berkelanjutan.

SOFIA 2008 juga mencatat peningkatan sebesar 80% dalam jumlah hasil perikanan yang telah melebihi kapasitas (over-exploited), sehingga penurunan stok ikan mengancam ketahanan pangan di negara-negara berkembang dan kelangsungan hidup masyarakat pesisir di seluruh dunia.

(Sumber : www.thefishsite.com, Maret 2009

Ikan Patin Raksasa

PALEMBANG — Seekor ikan patin (Pangasius hypothalmus) raksasa seberat 43 kg dengan panjang sekitar 1,3 meter berhasil ditangkap nelayan di Sungai Musi. Patin yang umurnya diperkirakan sekitar delapan tahun itu dijual pedagang ikan di Pasar Cinde seharga Rp 2,3 juta.

Ukuran ikan itu memang ekstrabesar, hampir sama tinggi dengan anak usia lima tahun. Lebar tubuh mencapai 40 cm. Perutnya mengelembung berisi telur sekitar 3 kg. Warnanya putih dan belang hitam di bagian punggung, terasa kenyal saat dipegang.

Dapat dibayangkan, untuk seokor patin ukuran 1 kg biasanya habis oleh tiga orang sekali makan. Berarti, ikan raksasa ini cukup untuk lauk makan 130 orang.

Menurut Heri, selama lebih dari 20 tahun berdagang ikan di Pasar Cinde, baru kali ini ia mendapat ikan patin sungai seberat 43 kilogram. Ia mendapatkannya dari Yanto, seorang pengumpul ikan dari nelayan di kawasan Sungai Lais, sekitar pukul 08.00.

Ikan patin itu masih hidup saat dibawa ke pasar. Awalnya Yanto menawarkannya kepada Zairul, pedagang ikan lainnya. Namun, Zairul tidak sanggup membelinya karena Yanto menetapkan harga Rp 40.000 per kg atau sekitar Rp 1,6 juta.

"Kalau patin 30 kg itu biasa, kadang dapat kita. Namun, kalau sebesar anak SMP seperti ini baru luar biasa," kata Heri. Kehadiran ikan raksasa di lapak dua bersaudara ini sempat mengundang perhatian warga, bahkan sesama pedagang ikan pun sempat dibuat takjub. Memang ikan sebesar ini merupakan pemandangan yang tidak lazim.

"Ikan sebesar ini bukan dimakan buaya, tapi dia yang makan buaya," kata seorang pria yang mengamati patin itu dari dekat. Sumiati (47), seorang pegawai yang belanja ikan di Cinde mengaku kaget melihat ikan itu. Seumur hidupnya baru kali ini ia melihat ikan patin sebesar itu. "Tidak kuat mengambilnya, apalagi makannya. Mungkin untuk sedekahan makan 100 orang, ikan itu dak bakal habis," katanya.

Banyak warga yang mengambil gambar ikan raksasa itu menggunakan ponsel. Ada juga yang penasaran dan memencet tubuh ikan itu. Beberapa warga tertarik dan menanyakan harganya, tetapi urung karena Heri menyebut Rp 55.000 per kg.

Heri menolak ikan itu dipotong-potong. Karena kemarin tidak ada yang sanggup membelinya, ikan itu akan dijual ke Pekanbaru. "Kami bakal dapat untung besar karena harga ikan ini bisa sampai Rp 55.000 per kilo," ujar Heri.

Menurut dia, semakin besar ukuran ikan patin sungai, akan semakin mahal pula harganya. Harga ikan patin liar di bawah 5 kg dipatok Rp 40.000, tetapi kalau lebih, akan mencapai Rp 50.000- Rp 55.000 per kilo. Ikan patin sungai juga lebih mahal dari ikan patin tambak yang harganya berkisar Rp 30.000 per kilo.


Dihubungi terpisah, Yanto, pengumpul ikan yang menjual patin itu kepada Heri, mengatakan, patin raksasa seperti itu tergolong langka. Umurnya diperkirakan sekitar 7 atau 8 tahun. "Biasanya dagingnya lebih gurih dan gemuk. Cobalah kamu pasti merasakan bedanya, enak," katanya. (Aang/Wira)

Sumber: Kompas Nov 2008

Bukan Lumpur, Tapi Baglog Jamur


Sudah 2 minggu kolam 20 m2 itu kosong melompong. Eman Rahman, pemilik kolam di Lebakwangi, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, itu sulit mencari lumpur pengisi kolam agar ia segera dapat membudidayakan belut. Padahal, baglog jamur bekas bisa menggantikan lumpur seperti dilakukan Suparmo.

Suparmo, peternak di Desa Caringin, Kecamatan Balaraja, Tangerang, Provinsi Banten, memanfaatkan baglog-media tanam jamur-bekas sejak awal Maret 2009. Untuk mengisi kolam semen berukuran 2,7 m x 2,6 m, ia memerlukan 500 baglog. Sebelum menjadi peternak belut, Suparmo lebih dulu berkebun jamur tiram. Ia mengelola sebuah kumbung jamur berukuran 9 m x 5 m berkapasitas 3.000 baglog. Mula-mula baglog bekas ia gunakan untuk memupuk terung. Melihat pertumbuhan Solanum melongena sangat pesat, ia tertarik mencoba pada belut.

Plastik-plastik pembungkus baglog ia lepaskan. Kemudian pria kelahiran Ciamis 17 November 1966 itu menghancurkan baglog dan menambahkan tanah halus serta kotoran kerbau matang. Porsi bekas media jamur itu 2 kali lipat ketimbang tanah. Campuran ketiga bahan itu ia aduk rata di dasar kolam. Di bagian atas campuran itu, Suparmo meletakkan cacahan batang pisang. Porsinya kira-kira 20%. Cacahan batang pisang mampu merangsang pertumbuhan rotifera sebagai pakan belut.

Adaptasi

Di bagian teratas, barulah ia menambahkan 20% jerami dan mengairi media. Air hanya macak-macak. Total jenderal ketebalan media dari dasar kolam hanya 20 cm. Komposisi media itu ia biarkan selama sebulan agar terjadi fermentasi.

Indikasi media siap pakai jika media tak beraroma busuk. Saat itulah pria 43 tahun itu menebar 20 kg bibit terdiri atas 100-112 ekor per kg. Panjang bibit rata-rata sejengkal tangan. Pekan pertama 215 bibit meregang nyawa. 'Kemungkinan stres karena transportasi dan beradaptasi dengan lingkungan,' kata Suparmo. Maklum bibit belut didatangkan dari Kuningan, Jawa Barat, berjarak lebih dari 400 km.

Pada pekan kedua, Suparmo mendapati kematian belut hanya 2-3 ekor. Setelah itu hingga pada pertengahan April 2009, umur bibit belut sebulan 19 hari, tak ada yang mati. Ayah 3 anak itu memberikan pakan berupa 0,5 kg ikan kecil dan cacahan kodok rebus. Selain itu kadang-kadang ia juga meletakkan ayam mati. Belut tidak makan ayam, tetapi magot alias belatung yang keluar dari bangkai ayam.

Ketika Trubus berkunjung ke kolam, Suparmo tengah mengecek pertumbuhan belut. Secara acak ia mengambil 20 belut di lokasi berbeda. Panjang Monopterus albus itu rata-rata bertambah 5-8 cm dari panjang awal 15-18 cm. Suparmo baru akan memanen serentak pada akhir Juni 2009 sehingga produktivitas belut di media jamur belum diketahui.

Pakan alami

Ide Suparmo memanfaatkan baglog jamur merupakan terobosan baru. Selama ini peternak belut memanfaatkan campuran lumpur sawah dan pupuk kandang sebagai media belut. Yang pasti belut mampu bertahan dan berkembang di media baglog. Menurut Ade Sunarma, MSi, periset di Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Tawar (BBPBAT), Sukabumi, Jawa Barat, penggunaan baglog sebagai media belut merupakan inovasi baru.

Menurut Sunarma media bekas jamur besar kemungkinan mempercepat pertumbuhan pakan alami. Alasannya, media itu lebih mudah terurai karena mengalami fermentasi dari serbuk gergaji, bekatul, dan biji-bijian. 'Apalagi ditambah gedebong pisang yang juga sudah busuk, proses fermentasi lebih cepat,' kata Sunarma. Dampaknya pakan alami lebih cepat tersedia sehingga memacu pertumbuhan belut.

Dengan ketersediaan pakan alami diharapkan belut tumbuh cepat dan seragam. Pertumbuhan yang seragam berarti juga mencegah kanibalisme. Menurut Sunarma keseragaman dipengaruhi faktor biologis dan perilaku. Secara biologis pertumbuhan jantan lebih cepat daripada belut betina. Meski demikian, peternak tak mampu memilih bibit jantan agar lebih dominan.

Soalnya, belut bersifat hemafrodit. Perubahan jenis kelamin secara menetap terjadi ketika belut berumur 3-4 bulan. Selain itu perilaku berebut pakan berpeluang membuat ketidakseragaman. Yang kuat berpeluang mendapat pakan lebih banyak. 'Namun, masih harus dikaji lebih lanjut seberapa besar kemampuan belut mengkonsumsi pakan,' kata Ade.

Penggunaan baglog bekas mempermudah peternak karena jumlahnya melimpah. Di Desa Kertawangi, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bandung, saja terdapat 400 pekebun jamur tiram. Setiap pekebun rata-rata mengusahakan 5.000-10.000 baglog. Ketika jamur tiram kian banyak diusahakan di berbagai kota, peluang untuk mendapatkan baglog bekas pun kian mudah. Selama ini baglog bekas hanya dibuang. Padahal, media apkir itu dapat menjadi hunian yang nyaman bagi belut. (Lastioro Anmi Tambunan)

Sumber: Trubus, Mei 2009

Rahasia Khasiat Belut


Minyak

Kenal minyak bulus? Inilah minyak yang diyakini sebagian kaum hawa membuat payudara berubah kencang bahkan bertambah besar. Menurut Komalasari, pengolah belut di Sukabumi, Jawa Barat, minyak belut mempunyai manfaat serupa. 'Yang mencari minyak belut ke sini untuk keperluan itu sangat banyak,' ujarnya. Tak hanya bekerja mengencangkan saja, minyak belut dapat membuat kulit halus dan licin bak porselin.***


Kepala

Belut juga menyumbang manfaat besar bagi kaum Adam. Di China sejak lama belut menjadi menu afrodisiak alias pembangkit gairah lelaki. Menurut Komalasari bagian belut paling ampuh untuk mendongkrak greng pria adalah kepala. Kepala belut ini dikeringkan lalu digerus halus. Bubuk itu dikonsumsi dengan air putih. ***

Kapsul

Siapa duga belut cocok juga sebagai jamu. Serbuk jamu belut yang dikapsulkan bisa menjadi obat mujarab penambah darah dan penyakit lever. 'Kapsul ini banyak diminta sinshe,' ujar Komalasari. Hanya lever dan darah? Kapsul belut ampuh mendongkrak kekebalan tubuh karena kaya energi. Nilai energi setiap 100 g belut mencapai 303 kkal, jauh lebih tinggi dari telur ayam 162 kkal/100 g dan daging sapi 207 kkal/100 g.***

Hitung Untung Budidaya Belut


Penghujung November 2008, senyum Ifan Gunawan merekah. Maklum dari kolam terpal berukuran 5 m x 5 m pembudidaya belut di Kuningan, Jawa Barat, itu sukses memanen 300 kg belut seukuran jempol orang dewasa, atau sekilo isi 10-20 ekor. Angka itu diperoleh dari 30 kg bibit seukuran sedotan yang ditebar 4 bulan lalu.

Kunci sukses Ifan memelihara Monopterus albus itu salah satunya kualitas bibit. 'Jangan membeli bibit hasil setrum. Dalam waktu 2-3 hari pasti langsung mati,' kata ketua Ciremai Belut Center itu. Selain itu ketersediaan pakan menjadi modal utama sebelum memulai usaha pembesaran. Ifan mengandalkan cacing tanah Lumbricus sp sebagai pakan utama. 'Kebutuhannya cukup besar,' imbuh Ifan. Sebulan pertama, misalnya, Suami Hj Ernawati itu rutin mencemplungkan 1,5 kg/hari cacing. Bulan ke-2, 2 kg/hari, bulan ke-3, 2,5 kg/hari, dan bulan ke-4,3 kg/hari.

Karena itu Ifan sengaja menernakkan cacing dalam 108 terpal berukuran masing-masing 90 cm x 70 cm. Tiga minggu kemudian 100 kg induk yang dibeli seharga Rp50.000/kg sudah mencetak cacing muda. Pantas setiap hari Ifan memanen 30 kg cacing. Angka itu lebih besar daripada kebutuhan pakan untuk belut.

Soal pemasaran, menurut Ifan bukan kendala. Pengepul-pengepul di Kuningan dan Bandung siap menerima berapa pun hasil panen. Tentu saja dengan harga standar, sekitar Rp25.000-Rp27.500/kg. Harga itu lebih tinggi daripada tangkapan alam, Rp20.000/kg. Inilah hitung-hitungan usaha budidaya belut.

Sumber: Trubus, Mei 2009

Belut: Pilihan di Lahan Sempit


Setiap ahad sejak 2006 Warsim memiliki aktivitas baru di luar kesibukan menjaga kios telepon selulernya di Pasar Jatitujuh, Kecamatan Kertajati, Kabupaten Majalengka, Jawa Barat. Ia rajin menyambangi los ikan di pasar itu, bercakap-cakap dengan satu-satunya penjaja belut di sana. Hasilnya, pada Februari 2009, Warsim memanen 75 kg belut senilai Rp1,2-juta dari kolam seluas 10 m2.

Sebelumnya, selama 3 tahun berturut-turut Warsim memantau pergerakan harga Monopterus albus. Kesimpulan: harga terus naik. Warsim mencatat sampai awal 2008 sekilo belut isi 10-20 ekor menjangkau harga Rp22.000-Rp25.000; 2006-2007, Rp15.000-Rp18.000/kg. Namun, belut tangkapan alam di lapak pedagang yang mengecer 60-80 kg/minggu itu tidak selalu tersedia.

Bujangan 25 tahun itu tanggap menangkap peluang ini. Bermodalkan Rp600.000 pada penghujung Oktober 2008 ia membuat sebuah kolam terpal berukuran 2,5 m x 4 m, berjarak 4 m dari pinggir rumah. Kolam itu ditaburi media batang pisang setebal 5 cm, 15 cm tanah, dan 10 kg kotoran kambing. Selanjutnya kolam diisi air setinggi 80 cm. Bibit sebanyak 12 kg dicemplungkan 2 minggu kemudian. Pertama 8 kg isi 100-112 ekor per kg, sepekan berikutnya 4 kg isi 80-90 ekor per kg. Hanya campuran yuyu alias kepiting kecil dan cacahan keong mas, 1 kg/hari, untuk pakan selama 4 bulan masa budidaya.

Trubus menyaksikan Warsim memanen masing-masing 23 kg isi 4-5 ekor/kg, 35 kg isi 7-8 ekor/kg, dan 10 kg isi 70-80 ekor/kg, sisa 10 ekor yang berbobot 0,6-1 kg. Total jenderal diperoleh 75 kg. Setelah dipilah ulang, 60 kg langsung dijual ke pengepul Rp20.000/kg. Sisanya, 15 kg terdiri atas belut yang luka dan berukuran kecil sepanjang 10-15 cm dibagi-bagikan pada tetangga sekitar rumah.

Nun di Sukabumi, Jawa Barat, dan Balaraja, Provinsi Banten, Ade Sumiyati dan Sunarto tengah menanti panen. Mereka berencana membobol kolam pada Mei 2009. Ade memiliki 10 kolam masing-masing berukuran 1,2 m x 2,5 m. Pada tiap-tiap kolam ia menebar 5 kg bibit. Staf tata usaha BPK Penabur di Sukabumi itu berasumsi memanen 50 kg/kolam. Pun Sunarto yang membenamkan masing-masing 40 kg bibit di 6 kolam berukuran 5 m x 5 m pada Desember 2008. Tenaga ahli pembuat aksesori motor itu berharap memanen 1:5. Artinya sekilo bibit menghasilkan 5 kg belut selama 4 bulan pemeliharaan. Andai prediksi Sunarto tepat, dengan harga eceran terendah Rp20.000/kg, ia bakal mengantongi omzet Rp24-juta;Ade, Rp10-juta.

Bertumbangan

Sejak marak dipublikasikan di berbagai media nasional dan milis sepanjang 2006-2007 peternak belut tumbuh bak jamur di musim hujan. Mereka menyebar di Jawa, Sumatera, hingga Kalimantan. Data yang dihimpun Trubus menunjukkan pada 2007 paling tidak terdapat 150-200 pembudidaya belut. Namun, sekitar 80% peternak terkonsentrasi di Pulau Jawa.

Iming-iming pasar besar dan modal kecil menjadi magnet bagi peternak. Sumber Trubus di Solo, Jawa Tengah, menguraikan tingginya permintaan pasar ekspor. Ia menyebutkan Singapura butuh 1 ton/hari; Hongkong 5-10 ton/ minggu; dan Korea 3 ton/hari. Pasar lokal? Pulau Jawa minimal menyerap 100 ton/bulan. Volume itu sampai detik ini belum terlayani. Memang dibanding lele, volume itu tak berarti. Kebutuhan pasar lele Jakarta, misalnya, mencapai 75 ton/hari. 'Belut belum menjadi habit atau kebiasaan seperti lele yang dinikmati segala lapisan,' ujar Kafi Kurnia, konsultan pemasaran agribisnis di Jakarta.

Budidaya belut tidak menyedot biaya besar. Apalagi untuk skala kecil, 1-2 kolam seluas 10-15 m2. Menurut hitung-hitungan Darmin, peternak di Kecamatan Karangsuwung, Cirebon, sebuah kolam plastik seluas 1,8 m x 4,5 m berikut 7 kg bibit, menelan biaya Rp350.000; kolam terpal Rp450.000. 'Karena biayanya murah makanya saya beternak belut,' kata mekanik listrik di perusahaan gula, PG Karangsuwung itu. Ade Sumiyati yang disebut di atas hanya mengucurkan modal Rp3-juta untuk 10 kolam.

Namun, belakangan daya tarik beternak belut agak meredup. Menginjak periode 2007-2008 jumlah peternak terus menyusut. Contoh Gabungan Orang Belut Semarang (GOBES). Sejak berdiri pada 2007 dengan 25 anggota, bersisa 5 peternak pada 2008. 'Yang lain mundur karena gagal. Mereka belum mau melanjutkan lagi,' ujar Budi Kuncoro SPi, ketua GOBES. Sedikit bergeser dari Semarang, di Kendal, Comunitas Peternak Belut Kendal (CPBK) menyisakan 30 dari 70 anggota di awal 2008. 'Budidaya belut tidak segampang yang digembar-gemborkan,' kata Muhammad Nuh, ketua CPBK. Nuh pernah memanen 5 kg dari 15 kg bibit selama 6 bulan budidaya.

Yang bermodal kuat ikut pula terjengkang. Chandra Warasto, misalnya, merugi Rp200-juta. Tahun lalu ia memutuskan menutup usaha ternak belut yang dibangunnya sejak 2006. Menurut pengusaha periklanan di Jakarta itu dari 24 kolam semen berukuran 5 m x 5 m yang masing-masing ditebar 30-40 kg bibit selama 4-6 bulan, budidaya tidak menunjukkan kemajuan berarti. 'Begitu dipanen belutnya sedikit, hanya belasan ekor per kolam. Ukuran belut cuma bertambah panjang, rata-rata seukuran jempol dari sekelingking orang dewasa,' katanya. Padahal pada 2007 pembeli asal Korea ingin melihat langsung kondisi farmnya sekaligus meneken kontrak ekspor.

Media

Apa sebenarnya yang terjadi? Ahmad Sarkan, konsultan belut di Kuningan, Jawa Barat, menuturkan boleh jadi peternak abai mencermati media, pakan, dan bibit. 'Salah satu bagian tidak berjalan baik kegagalannya besar,' katanya. Media, misalnya, sejauh ini belum ada komposisi yang pas. Padahal bahan dasarnya berkisar lumpur sawah, jerami, dan batang pisang. 'Peternak memang dituntut terus mencoba atau belajar dari yang berhasil,' kata Ifan Gunawan dari Ciremai Belut Center di Kuningan, Jawa Barat.

Memakai komposisi 40% lumpur, 40% batang pisang, dan 20% jerami, Budi Kuncoro hakul yakin dapat membesarkan belut. Di lain pihak Ade Sumiyati menggunakan 80% lumpur dan 20% gedebong pisang. Sunarto memilih berbagai komposisi media: 20% lumpur dan 80% batang pisang, 100% lumpur, serta 50% lumpur dan 50% bokashi. Ada pula peternak memakai 80% lumpur, 10% batang pisang, dan 10% jerami. Yang spektakuler dilakukan Suparmo di Balaraja, Provinsi Banten, menggunakan media jamur.

Sejauh ini belum terlihat komposisi terbaik karena rata-rata pemakainya belum melakukan panen sesungguhnya. 'Semua akan jelas hasilnya setelah diangkat. Ini karena pertumbuhan belut tidak bisa dilihat mata, berbeda dengan ikan di akuarium,' kata Ade Sunarma, MSi, periset Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Tawar, Sukabumi, Jawa Barat.

Media matang juga penting. Ini dicirikan oleh air di kolam tidak berubah warna dan tidak berbau. Media akan sempurna setelah difermentasi 2 bulan. Kenyataan, banyak peternak membenamkan belut saat umur peram media baru 1-2 minggu. Walhasil kematian belut melonjak 90%. 'Belut-belut mati karena media masih mengeluarkan gas metana. Ini pula yang membuat peternak di kelompok kami banyak gagal,' kata Budi.

Menurut peternak di kaki Gunung Salak, Bogor, Ir Johny Siahaan, urusan bibit tidak kalah pelik. Johny yang memiliki 5 kolam masing-masing berukuran 5 m x 5 m mempunyai pengalaman buruk. Dari tebar 30 kg bibit di sebuah kolam, semuanya mati dalam tempo 2 minggu. Johny menduga bibit-bibit itu mengalami stres akibat perjalanan. Beruntung ia menemukan solusinya: mengkarantina bibit.

Bibit-bibit itu ditaruh dalam bak berisi campuran air dari asal bibit dan kolam baru. 'Perbandingan air cukup 1:2,' katanya. Nah, bila bibit tampak berenang, tidak berdiri, tanda bibit siap untuk dibenamkan di kolam. Dengan cara ini tingkat kematian hanya 1-2%. Padahal di peternak lain mortalitas bibit mencapai 10-15%. 'Menurut penyedia bibit, 10% kematian masih normal,' ujar Suparmo. Padahal bila minimal ditebar 40 kg bibit seharga Rp35.000/kg, misalnya, belum apa-apa peternak sudah menuai kerugian Rp140.000 (kematian 10%).

Menurut Ir Ign Hardaningsih MSi, staf pengajar Jurusan Perikanan Fakultas Pertanian UGM, bibit-bibit belut budidaya masih dari alam. 'Belum ada formulasi pas untuk membenihkan,' ujar kandidat doktor embriologi perkembangan itu. Namun, Ahmad Sarkan mengaku dapat 'membibitkan' meskipun terhitung alami. Ia menebar 1 ton induk belut alam di banyak kolam. Dari sana bibit-bibit itu muncul. 'Dengan cara ini saya dapat menyediakan 5 kuintal bibit per minggu,' kata Ahmad.

Sebagian besar peternak masih mengandalkan pakan alami yang tercipta dari media. Ini yang disinyalir membuat belut tumbuh lambat, bahkan mendorong kanibalisme. Menurut Nurani Sutjiatmaja pakan luar mutlak diberikan. 'Saya memberi cacing, ayam, yuyu, dan kodok untuk pakan,' ujar peternak yang mengelola 7 kolam rata-rata berukuran 5 m x 7 m di Cimahpar, Bogor, itu. Hal ini dirasakan membebani sebagian besar peternak.

'Harga cacing cukup mahal sekitar Rp50.000/kg,' ujar Warsim. Padahal bila benar-benar intensif seperti budidaya yang dilakukan Nurani, kebutuhan cacing selama budidaya 4 bulan mencapai 300 kg. 'Sekarang tinggal pilih mau belut cepat besar atau tidak,' kata pengusaha trading pupuk di Jakarta Selatan yang menggelontorkan biaya pakan hingga Rp7,2-juta/3 bulan budidaya. Pilihan lain seperti Ifan Gunawan dengan membudidayakan cacing Lumbricus tiger memakai media antara lain ampas tahu dan kotoran sapi. 'Biayanya jauh lebih murah,' katanya.

Pasar terbentang

Andaikan semua aral bisa diatasi peternak, pasar terbuka lebar. Contoh Komalasari. Sementara banyak perempuan jijik pada satwa mirip ular dan tinggal di lumpur itu, pengolah belut di Desa Pasirhalang, Sukaraja, Sukabumi, itu kelimpungan memenuhi kebutuhan hingga 6 ton/bulan; terpenuhi 2-3 ton. Padahal mitra pemasoknya meroket hingga 25 kelompok (250 anggota) pada 2009 dari sebelumnya 18 kelompok (100-an anggota) pada 2003.

Menurut Komalasari 90% kebutuhan belut terserap untuk olahan. Maklum pembina PKK setempat itu memproduksi 13 olahan belut seperti abon, dendeng, dan balado. Setiap kali mengolah ia memerlukan 100-200 kg/hari. Pengamatan Trubus di gerai pasar swalayan dan rumah makan menunjukkan indikasi minim pasokan. Tiga hipermarket besar di bilangan Margonda, Depok, Jawa Barat, seringkali kehabisan belut segar dan olahan filet seharga Rp55.000/kg hingga berhari-hari.

Di Malang, RM Belut Surabaya, misalnya, menyerap 25-30 kg belut/hari. Namun, akhir pekan saat kebutuhan melonjak 2 kali lipat, barang tidak tersedia. Pun di sentra olahan belut, Pasar Godean, Yogyakarta. 'Untuk mendapat 50 kg/minggu bahan susah. Apalagi musim kemarau, bisa dapat 10 kg/minggu sudah bagus,' kata Desi, pedagang. Padahal di Godean terdapat sekitar 10 pedagang dengan tingkat kebutuhan serupa.

Ahmad Sarkan pusing tujuh keliling melayani kebutuhan 10 bandar yang masing-masing meminta 5 kuintal/minggu. Padahal ia sudah menggaet mitra lewat Paguyuban Belut Nasional, beranggotakan sekitar 300 orang dengan 10% peternak aktif. Pun Juwahir, pengepul di Kepanjen, Malang, Jawa Timur, yang nyaris angkat tangan menangani permintaan 5 ton/minggu.

Dengan kondisi ini sebenarnya peternak sangat diuntungkan. Apalagi jika jeli menahan barang hingga memasuki musim kemarau, sekitar April-Agustus, saat pasokan belut alam menurun. Ketika itu harga belut tinggi. Jika musim hujan paling rendah Rp20.000/kg; kemarau Rp35.000-Rp40.000/kg.

Pasar ekspor tetap menggiurkan. Data lalulintas komoditas belut Pusat Karantina Ikan DKP menunjukkan volume ekspor nasional monopterus terus melambung. Pada kurun April-Desember 2007 tercatat 976 kg dan Januari-Desember 2008, 4.249 kg. Malaysia menjadi negara tujuan ekspor terbesar (80%) di luar Hongkong.

Menurut Sunarto permintaan ekspor dari Jepang dengan tingkat konsumsi di atas 5.000 ton/bulan mulai berdatangan. Musababnya China, salah satu sumber bahan baku unadon-makanan belut khas Jepang-tengah dirundung masalah akibat ditemukan residu pada ekspor belutnya. 'Mereka ke sini minta filet,' kata Sunarto yang tengah bernegosiasi.

Ia mematok harga 1.500 yen setara Rp120.000/kg filet. Volumenya? untuk periode Januari-Maret dan April-Agustus pembeli meminta masing-masing 4 ton dan 8 ton. Standar belut: panjang 30 cm dan ketebalan daging 8 mm.

Belut memang memberi impian besar. Beternak menjadi solusi keterbatasan pasokan belut alam. Itu yang dilakukan Warsim saat mantap mendulang rupiah dari beternak belut di halaman rumah. (Dian Adijaya S/Peliput: Karjono, Lastioro Anmi T, Tri Susanti, Faiz Yajri, dan Rosy Nur A)

Sumber : Trubus, Mei 2009

Minggu, 12 April 2009

BUDI DAYA IKAN PATIN SEBAGAI SOLUSI KRISIS GLOBAL

Subang, (PR).- Sektor perikanan khususnya budi daya ikan patin diharapkan menjadi tumpuan pemerintah dan masyarakat dalam menghadapi krisis ekonomi global. Sebab, hingga saat ini hanya ekspor ikan patin yang belum mendapat penolakan dari Amerika serikat maupun negara-negara Uni Eropa.

Artinya peluang untuk ekspor ikan patin ke negara tujuan itu masih sangat terbuka. Apalagi, konsumen di negara tersebut kini lebih menyukai ikan patin daripada udang atau ikan jenis lain, karena harganya lebih murah.

Demikian dikatakan Menteri Kelautan dan Perikanan Freddy Numberi, ketika melakukan panen perdana ikan patin di Loka Riset Pemuliaan dan Teknologi Budi Daya Perikanan Air Tawar (LRPT BPAT) di Desa Sukamandi, Kec. Ciasem, Kab. Subang, Senin (15/12).

Menurut dia, budi daya ikan patin ternyata mampu menjawab tantangan dunia dalam mengadapi krisis ekonomi global. Dalam hal ini petani Indonesia, masih bisa meningkatkan produksi patin untuk diekspor ke Amerika dan Uni Eropa terkait dengan masih terbukanya pangsa pasar ikan patin di negera-negara tersebut.

Menurut Freddy, kelebihan ikan patin adalah harganya yang lebih murah, sehingga diminati oleh konsumen luar negeri sebagai pengganti lobster dan jenis ikan lain yang harganya jauh lebih mahal. Di tengah impitan ekonomi yang mendera negara-negara itu, ikan patin kini malah mulai dilirik oleh mereka. "Hal ini cukup menggembirakan bagi kita," kata Freddy.

Dikatakan juga, Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP), pada tahun ini telah mengeluarkan subsidi bagi subsektor budi daya ikan sebesar Rp 33 miliar. Diharapkan nilai subsidi meningkat menjadi Rp 80 miliar pada tahun 2009 mendatang.

Subsidi pakan

Dalam kesempatan itu, Freddy mengakui jika biaya produksi paling tinggi dalam budi daya ikan adalah untuk penyediaan pakan. Hampir 80% biaya produksi habis hanya untuk membeli pakan ikan.

Oleh karena itu, pihaknya akan mengusulkan kepada Presiden dan Wakil Presiden agar pemerintah memberikan subsidi pakan untuk para petani ikan. Hal itu serupa dengan pemberian subsidi pupuk bagi petani tanaman. "Kami harap, penghapusan subsidi BBM bisa dialihkan untuk subsidi pakan ikan," kata Freddy.

Di tempat yang sama, General Manager (GM) Gabungan Pengusaha Makanan Ternak (GPMT) Divisi Pakan Ikan, Denny D. Idradjaja mengatakan, ekspor patin dari Indonesia sebenarnya tertinggal jauh dari Vietnam. Sebab, Vietnam saat ini mampu mengekspor patin sebanyak 390.000 ton/tahun. Sedangkan Indonesia baru mencapai angka 50.000 ton/tahun.

Di Vietnam, kata Denny, budi daya patin telah digarap secara serius dalam skala besar. Sedangkan di Indonesia, budi daya patin baru dilakukan pada beberapa tempat tertentu saja.

Menurut Denny, pemeliharaan patin, sebenarnya lebih mudah ketimbang ikan jenis lain. Pasalnya, ikan patin bisa memakan apa saja dan tidak terpaku pada satu jenis pakan.

Sementara itu, salah seorang staf LRPT BPAT Sukamandi, La Ode Abdurahman Wahid mengatakan, ikan patin yang dipanen pertama kali bobotnya mencapai 60 ton. Ikan patin tersebut dipelihara selama 10 bulan pada kolam seluas 0,6 hektare.

Pada panen perdana, menurut La Ode, diangkat ikan patin sebanyak 9,5 ton. Selebihnya ikan tersebut akan dipanen secara bertahap hingga beberapa pekan ke depan.

Dikatakan, patin tersebut akan dijual ke Jakarta dan Amerika dalam bentuk daging yang sudah di-bleeding. "Menurut informasi harga patin di pasar Amerika hanya 3,5 dolar AS hingga 4 dolar AS/kg. Sedangkan harga nila mencapai 5 dolar AS/kg," katanya. (A-106)***

Sumber: Harian Pikiran Rakyat, Selasa 16 Desember 2008

RI impor 500.000 ton patin

JAKARTA: Indonesia masih mengimpor ikan patin 500.000 ton per bulan dari Vietnam lantaran produksi di Tanah Air belum mampu memenuhi permintaan pasar di dalam negeri.

"Saat ini, produksi dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan sendiri masih kurang. Indonesia yang memiliki sumber daya cukup besar, terpaksa harus impor dari Vietnam," ujar Dirjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan (P2HP) Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) Martani Huseini di Jakarta, kemarin.

Kondisi itu, katanya, membuat Indonesia belum mampu memenuhi permintaan pasar di luar negeri. Terutama untuk passar AS, Eropa Timur, Timur Tengah, dan Uni Eropa.

Dia mengakui potensi budi daya patin di dalam negeri sangat besar. Kendalanya kekurangan induk, benih, penyediaan pakan, dan kurangnya dukungan perbankan. "Hal ini membuat Indonesia kurang mampu bersaing dengan Vietnam," ujarnya.

Indonesia, menurut dia, masih harus mengimpor pakan ikan dari Cile, harga jual patin belum kompetitif, dan pemerintah daerah yang menaruh perhatian pada budi daya patin masih sedikit. "Ini membuat produksi tersendat," tuturnya.

Harga ikan patin Vietnam, katanya, lebih murah dibandingkan dengan harga patin Indonesia. Harga patin Indonesia Rp17.000, sedangkan harga patin Vietnam hanya Rp9.000 per kilogram.

Menurut dia, tingginya selisih harga ini karena Vietnam memiliki teknologi pembibitan yang lebih unggul dibandingkan dengan Indonesia.

Selain itu, tambahnya, Vietnam juga mengadakan pakan dengan baik. Hal tersebut, membuat ongkos produksi dapat ditekan sehingga harga jual ikan patin Vietnam jauh lebih murah.

Oleh Diena Lestari
Bisnis Indonesia

Ikan Air Tawar, Kebanggaan Tulungagung



Bahkan sejak 1996, pekerjaan pembudidaya ikan sudah tertera dalam Kartu Tanda Penduduk

Kabupaten Tulungagung, sebelum 1987 dikenal sebagai daerah banjir. Akibatnya banyak terbentuk genangan air sebagai tempat hidup ikan air tawar. Dampak positifnya, baik secara langsung atau tidak masyarakat paham dan terbiasa pola tersebut. Ditambah lagi dengan dukungan sumber daya alam sungai Berantas dan irigasi Lodagung yang mengalir dari Lodoyo, Blitar sampai Tulungagung, membuat sumber air melimpah. “Secara umum sumber air di Tulungagung cukup dangkal. Air dengan mudah diperoleh cukup dengan kedalaman 3-6 meter. Kondisi ini sangat mendukung Tulungagung sebagai sentra perikanan air tawar,” ungkap Supartono, Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kabupaten Tulungagung.
Tidak bisa dibantah, perikanan menjadi salah satu sektor unggulan Kabupaten Tulungagung, dengan ikan hias Maskoki sebagai maskot, disusul lele dan gurame. “Dan saat ini kita tengah berupaya mengembangkan budidaya patin (panasius),” jelas Supartono.
“Bahkan, sejak 1996 jenis pekerjaan pembudidaya ikan sudah tertera dalam Kartu Tanda Penduduk (KTP),” ujar Supartono sumringah. Kebanggan ini menandakan usaha ini telah mampu menjadi penyangga hidup pembudidaya ikan sekeluarga.
Tidak heran jika serapan tenaga kerja sektor ini cukup tinggi. Serapan di perairan umum sebesar 5.124 orang dengan rincian sungai menyerap 3.492 orang, rawa 207 orang, waduk 1.149 orang, telaga 276 orang. Pembudidaya ikan hias 3.412 orang dan ikan konsumsi 12.200 orang untuk pembenihan 784 orang. Pendapatan sektor perikanan juga cukup tinggi, pada 2007 pendapatannya sebesar Rp 302,140 miliar. Perikanan budidaya menyumbang porsi terbesar dengan jumlah Rp 256,124 miliar disusul perikanan tangkap laut Rp 39,478 miliar dan perikanan tangkap di perairan umum Rp 6, 536 miliar. Besarnya pendapatan didukung penyebaran budidaya ikan air tawar yang merata di berbagai kecamatan di Tulungagung. Menurut Supiyan, Area Supervisor PT Sanbe Farma, daerah timur yang langsung berbatasan dengan Kabupaten Blitar lebih cocok untuk perikanan karena berupa dataran. Komoditas unggulan ikan hias air tawar khususnya Maskoki tersentra di tiga Kecamatan Sumbergempol, Kedungwaru, Boyolangu dan yang lain tersebar di 12 kecamatan. Ikan konsumsi tersebar di 17 kecamatan dengan sentra Lele di Kecamatan Gondang, Kauman, Pakel, Besuki, Campurdarat, dan Bandung. Untuk sentra Gurami di kecamatan Rejotangan, Ngunut, Kalidawir, Ngantru, Kedungwaru, Boyolangu dan Sumbergempol.
“Dari dana program UKM untuk kabupaten Tulungagung Rp 6 miliar, Rp 3 miliar dialokasikan bagi pembudidaya ikan air tawar dengan bunga pinjaman 6% per tahun. Tidak ada yang nunggak, dan sekarang sudah mulai diarahkan ke bank umum,” Supartono bernada puas.

Hanya Sentra Produksi
Tulungagung sebagai sentra produksi perikanan air tawar juga diakui oleh Denny Setyo Wicaksono, Sales Manager PT Matahari Sakti, produsen pakan ikan. “Tulungagung merupakan barometer perikanan, awalnya tidak hanya pada pembesaran ikan konsumsi saja tetapi sentra benih, khususnya lele,” ujar Denny. Seiring perjalanan waktu pembenihan lele semakin sulit, tingkat keberhasilannya kecil, akibat menurunnya genetik serta iklim yang kurang bersahabat. Sehingga kini pembudidaya mendatangkan benih lele dari Pare, Kediri sedangkan gurame dari Blitar dan Banyumas.
Tiga tahun lalu menurut Denny, daya serap pakan ikan air tawar di Tulungagung mencapai 2500 ton, dengan FCR 1. “Saat itu 70% pembudidaya lele, 30% ikan hias dan gurame. Kenyataannya sekarang kondisi ini berbalik, hampir 60% beralih ke gurame dan 40% budidaya ikan hias, lele dan patin”. Ini juga diakui Supiyan, “Budidaya lele membutuhkan perputaran modal yang besar dan cepat. Berbeda dengan gurame, biaya lebih kecil meskipun waktu yang dibutuhkan lebih lama.”

Patin Pasupati Dari Sukamandi untuk Ekspor



Obsesi DKP untuk mencapai target produksi daging putih pada akhir 2009 sebanyak 200.000 ton tampaknya bukan omong kosong belaka. Dahulu pemenuhan daging putih hanya berasal dari daging Patin jambal, kini dapat dipenuhi juga oleh ‘Patin pasupati’. Nama baru ini merupakan varietas baru hasil persilangan Patin jambal jantan dengan Patin siam betina yang sudah melalui proses perbaikan mutu secara genetik dengan program seleksi (selective breeding) yang dilakukan oleh Loka Riset Pemuliaan dan Teknologi Budidaya Air Tawar (Loriskanwar) Sukamandi.

TROBOS edisi 82 telah menyinggung kekurangan Patin jambal, yaitu sedikitnya produksi jumlah telur, sementara sperma yang dihasilkan sang jantan banyak. Sebaliknya, jenis Patin siam mempunyai keunggulan banyaknya jumlah telur yang dihasilkan, sedangkan jumlah spermanya sedikit. Patin siam tidak dikembangkan karena dagingnya berwarna merah, yang kurang disukai di pasaran internasional.

Tujuan Utama

“Berbekal pengetahuan mengenai keunggulan yang dimiliki oleh masing-masing jenis, kita mencoba menyilangkan antara Patin jambal jantan dengan Patin siam betina. Alhamdulilllah hasilnya patin berdaging putih yang dinamakan ‘Patin pasupati’,” terang Sularto, Ketua Tim Peneliti komoditas patin Loriskanwar Sukamandi. Pasupati, akronim dari Patin Super Harapan Pertiwi, telah dirilis Menteri Kelautan dan Perikanan Freddy Numbery pada 7 Agustus 2006 lalu.

Tujuan utama persilangan tersebut menurut Sularto, untuk memenuhi kebutuhan benih daging putih. “Karena berharap pada jambal saja, akan sulit menembus target tahun 2009,” ujar Sularto berargumen. Sebagai perbandingan, tambah Sularto, Patin siam mampu menghasilkan telur 300-500 ribu setiap kali bertelur, sementara Patin jambal hanya 50 ribuan. “Dari jumlah itu kita bisa melihat persilangan ini tentu akan lebih memungkinkan pemenuhan kebutuhan benih daging putih,” tandas Sularto.Tetapi, jelas Sularto, Pasupati ini merupakan produk akhir untuk konsumsi. “Jadi tidak ada keturunan dari Patin pasupati,” tuturnya.

Dan guna mencapai ambisi target, Loriskanwar terus melakukan program seleksi Patin jambal sebagai calon induk pejantan untuk produksi benih Patin pasupati. Sementara untuk induk betina Patin siam sudah banyak di masyarakat. Loriskanwar juga masih terus melakukan persilangan untuk mendapatkan hasil varietas patin yang lebih unggul dari Patin pasupati yang ada.

Keunggulan Pasupati

Keunggulan utama Patin pasupati adalah warna dagingnya yang putih. Evi Tahapari, anggota tim peneliti memberi penjelasan terkait kualitas daging, “Kita sudah melakukan uji organoleptik di Jakarta. Hasilnya, antara daging Patin jambal dengan daging Patin pasupati tidak dapat dibedakan. Warna dan teksturnya mirip”. Importir sudah setuju dengan kualitas daging Patin pasupati. “Importir merupakan aspek penting. Jika mereka sudah setuju berarti pasar tak masalah,” kata Evi menambahkan.

Keunggulan lain dari Patin pasupati adalah mempunyai kadar lemak yang rendah. Menurut Sularto, kadar lemak Patin pasupati hanya 14,93%, sementara Patin siam dan jambal masing-masing adalah 18,41% dan 16,86%. “Rendahnya kadar lemak ini cocok dengan keinginan pasar internasional yang biasanya lebih memilih panganan berkadar lemak rendah,” papar Sularto.

Masih menurut Sularto, kelebihan Patin pasupati berikutnya adalah pertumbuhan yang relatif lebih cepat apabila dibandingkan jenis Patin siam dan jambal. Berdasarkan hasil penelitian, laju pertumbuhan relatif Patin pasupati pada saat pembesaran di kolam selama 60 hari sebesar 3,05 sedangkan untuk jenis patin siam dan jambal masing-masing sebesar 2,82 dan 2,87. “Waktu yang diperlukan Patin pasupati untuk mencapai ukuran panen (1 kg) dari benih ukuran 2,5 inci adalah 7 bulan dengan nilai FCR sebesar 1,5,” terang Sularto detail. Ia menambahkan harga ikan patin daging putih saat ini cukup bagus, Rp 8.000-Rp 9.000 per-kg.

Karakteristik Lingkungan

Keberhasilan budidaya Patin pasupati tak lepas dari kondisi lingkungan yang mendukung. Patin pasupati sangat cocok pada kondisi lingkungan yang mempunyai suhu cukup hangat yaitu antara 280-300 C. Bila kurang dari itu biasanya ikan ini mudah terserang penyakit.

Selain itu Patin pasupati juga membutuhkan tingkat kelarutan oksigen yang cukup tinggi. “Untuk budidaya, kadar oksigen terlarut yang diperlukan adalah 3 ppm,” kata Sularto. Karena itu Patin pasupati tidak dianjurkan dibudidayakan di waduk yang padat KJA, karena tidak dapat tumbuh dengan baik akibat kekurangan oksigen.

Sehingga jenis ini sangat cocok dibudidayakan pada kolam yang besar dengan permukaan air yang berombak agar mendapat cukup oksigen. Selain itu, Patin pasupati juga baik dibudidayakan di sungai yang tidak terlalu deras. “Di sungai tidak perlu khawatir dengan kelimpahan oksigen. Tetapi yang perlu diperhatikan, harus berhati-hati saat pertama kali melepas benih ke sungai, agar benih tidak kaget karena adanya perbedaan kondisi air antara tenang dan mengalir,” demikian Evi menjelaskan. Patin pasupati juga dapat dibudidayakan di tambak yang mendapat pasokan air tawar cukup banyak. Menurut Sularto, padat tebar Patin pasupati di keramba 50-75 ekor/m3, sedangkan untuk kolam tanah hanya dianjurkan 10 ekor/m3.